Mulai Bangkit Sejak Pandemi, Kini Industri Kreatif Justru Tertekan Akibat Adanya Wacana Larangan Total Iklan Rokok

Mulai Bangkit Sejak Pandemi, Kini Industri Kreatif Justru Tertekan Akibat Adanya Wacana Larangan Total Iklan Rokok (Trenasia)

JAKARTA – Industri kreatif nasional baru saja berangsur bangkit setelah pandemi, namun kembali menghadapi tekanan lantaran iklan rokok berencana dilarang total. Sebabnya, pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah No. 109/2012 yang mengatur perihal rokok, termasuk soal iklan sehingga imbasnya akan dirasakan industri kreatif. Rencana revisi tersebut akan memuat ketentuan untuk melarang total iklan rokok yang dapat membuat pendapatan iklan bakal menyusut.

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, menyatakan iklan rokok merupakan salah satu penyumbang pendapatan iklan terbesar bagi televisi. “Kami secara tegas menolak revisi ini dan berharap tidak ada larangan total bagi iklan rokok. Kalau ini terjadi, dampaknya akan terjadi penurunan pendapatan.”

Jika diberlakukan, wacana larangan total iklan rokok dapat menghapus pendapatan industri pertelevisian di sektor periklanan. Tak hanya itu, Syafril juga menjelaskan bahwa larangan total juga akan berdampak lebih luas lagi, tidak hanya kepada industri periklanan secara langsung, tetapi juga pada industri turunannya. Melansir Nielsen, di periode semester I tahun lalu, iklan rokok berkontribusi senilai Rp 4,5 triliun, sedangkan di 2021 nilainya mencapai Rp 9,1 triliun.

Sebab berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2021, ada enam sub sektor industri yang terkait dengan industri tembakau. Enam subsektor industri tersebut adalah subsektor desain, film/video, musik, penerbitan, periklanan, hingga subsektor penyiaran (TV dan radio). Enam subsektor ini secara kolektif mempekerjakan lebih dari 725.000 tenaga kerja.

“Larangan iklan rokok akan menghasilkan efek domino dan berpengaruh besar pada keberlangsungan industri. Sehingga, pemerintah harus mempertimbangkan kembali rencana revisi ini sekaligus mempertimbangkan bagaimana perkembangan industri ini,” sambung Syafril.

Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Ikatan Rumah Produksi Iklan Indonesia (IRPII), Dede Iman. Ia menjelaskan industri tembakau selama ini merupakan kontributor utama dalam memberikan pendapatan kepada rumah produksi iklan. Apalagi pada situasi pandemi lalu, di mana banyak sektor industri justru menghemat biaya iklan dan promosi, tetapi produksi iklan rokok relatif stabil. Tanpa pemasukan iklan rokok, industri kreatif khawatir dampaknya akan sangat besar.

“Kami lebih melihat ke aspek pekerja, karena selama ini iklan rokok masih menjadi kontributor utama pendapatan kami. Apalagi pada situasi pandemi kemarin, karena pekerja di industri ini mayoritas merupakan pekerja lepas, dan saat tidak ada pekerjaan, maka tidak ada pendapatan. Kami tidak setuju pelarangan iklan rokok, jika sampai tetap diberlakukan, pasti akan sangat memberatkan kami untuk tetap bertahan,” kata Dede.

Alih-alih melakukan revisi, Dede menyatakan agar pemerintah terlebih dahulu melakukan evaluasi atas implementasi aturan yang berlaku untuk mengetahui efektivitas program program penurunan prevalensi perokok anak. Sebab, jika revisi dilakukan tanpa pertimbangan yang matang, dan mengabaikan imbas buruknya kepada para pekerja, maka revisi PP 109/2012 justru akan menimbulkan dampak buruk yang jauh lebih besar.

Dede dan Syafril juga sepakat selama ini iklan rokok selalu menaati ketentuan yang berlaku. Bahkan industri periklanan juga memiliki Etika Pariwara Indonesia (EPI) yang secara jelas mempertimbangkan beragam aspek, seperti sosial, budaya, ekonomi, maupun politik yang berlaku di Indonesia. 

Dalam EPI, rokok telah termasuk sebagai produk terbatas yang sasaran iklannya merupakan usia 18 tahun ke atas. Dalam iklan rokok juga selalu dicantumkan peringatan kesehatan sebagai bentuk sosialisasi dan edukasi bahaya merokok. Ini merupakan bentuk tanggung jawab para pelaku industri periklanan.


Related Stories