Kamis, 04 Desember 2025 07:30 WIB
Penulis:Isman Wahyudi
Editor:Isman Wahyudi

MAKASSARINSIGHT.com - Apakah dunia ini bisa bertahan, lantaran peristiwa-peristiwa yang tak biasa dan menarik perhatian? Setidaknya, ketika yang dibahas itu peristiwa dunia yang direpresentasikan oleh media sosial. Ada banyak peristiwa tak biasa yang bersusul-susulan terjadi sekitar terakhir bulan November ini.
Seluruhnya dapat dikategorikan dalam dua skala yang berbeda. Kategori yang pertama, berskala individual. Kejadiannya, dipicu oleh tertinggalnya tumbler dalam perjalanan menggunakan commuter line KAI. Ekor peristiwanya pun masih meletup hingga Bulan Desember ini.
Ungkapan penyesalan atas terjadinya keteledoran; saran dan peringatan yang serius, agar tak melupakan barang bawaan di fasilitas umum; hingga sindiran berbentuk meme maupun pernyataan riding the wave, masih mudah ditemui. Entah sebagai peringatan yang simpatik, atau mengolok-olok pelakunya.
Baca Juga:
Tampak ada gulungan emosi yang kuat, di balik peristiwa berskala individual itu. Sedangkan kategori yang kedua, dimulai dari pernyataan adanya bandara yang disebut ilegal di Morowali; terjadinya penembakan pada lima petani di Bengkulu oleh karyawan perkebunan sawit; dan yang masih mencekam, bencana alam dahsyat yang menimpa Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Wilayah yang demikian luas itu, terendam dan luluh lantak diterjang Siklon Tropis Senyar. Ketiga contoh di atas skalanya nasional. Namun jika diamati dengan saksama: magnitude perhatian yang diberikan tampak tak memenuhi aspek proporsi. Besarnya perhatian yang diberikan pada peristiwa berkategori pertama, terasa berlebihan.
Terlalu banyak pasangan bola mata, yang tertuju pada tumbler yang tertinggal. Terlalu banyak kata-kata yang diungkapkan untuk menanggapi kelalaian individual itu. Skala penyebab dan akibatnya sempit, tapi yang terlibat masif.
Seluruhnya itu, tak sebanding dengan dilanggarnya otoritas negara; hilangnya hak hidup orang atas lahan yang dimiliki; hilangnya masa depan akibat bencana. Penyebab dan akibatnya bersifat struktural. Tak terhapus dalam hitungan hari.
Atas tak terpenuhinya aspek proporsi itu, sayup-sayup muncul pertanyaan: apa yang sebenarnya terjadi di balik pilihan memberikan tanggapan pada unggahan media sosial hari ini?
Apakah pengguna media sosial lebih memilih yang menghibur, dibanding yang keterkaitannya masih baur? Adakah persoalan empati turut terlibat? Terjadinya ketertarikan pada peristiwa yang oleh sebagian orang disebut sebagai remeh-temeh itu, perlu penjelasan.
Memang tak sepenuhnya tepat, membandingkan dua peristiwa secara berhadap-hadapan berdasar skalanya. Karena bagi setiap orang, semua peristiwa bersifat unik. Penghayatannya pun, tak dipengaruhi ukuran kuantitatifnya.
Namun di balik persoalan kuantitatif itu, tetap ada yang perlu diungkap: apa sumber terbentuknya perhatian di media sosial hari ini? Terutama ketika perhatian tampak masif, pada hal-hal yang tak terlampau penting.
Sementara belum ada jawabannya, banyak pula pengguna yang mengajak langsung memberikan perhatian pada unggahan yang memuat peristiwa dengan kepentingan luas. Tak seharusnya larut pada urusan yang skalanya terbatas.
Dalam realitasnya, yang ditampilkan media sosial hampir selalu jadi tontonan yang menarik. Penyebabnya ada dua hal, pertama: kurasi pada konten. Akibat persaingan antar pengunggah konten, upaya mengemasnya agar menjadi tontonan paling menarik, merupakan kelaziman.
Ini termasuk: ditemukannya sudut pandang baru dari peristiwa; proses editing yang kreatif, bahkan tak lazim; hingga dikemukakannya sisi kontroversial dari suatu peristiwa. Seluruhnya mengandalkan stategi dan taktik, untuk memanen perhatian.
Upaya di atas, dapat dijelaskan sebagai bentuk penerapan: The Economic of Attention. Teori ini dikemukakan Herbert A. Simon di tahun 1960-an, dan mengantarnya sebagai peraih Nobel Ekonomi di tahun 1978. Menurutnya, kekayaan informasi menciptakan kemiskinan perhatian.
Akibat kemiskinan itu, perhatian menjadi mata uang yang berharga. Karenanya, hanya dibelanjakan pada peristiwa yang memberikan kepuasan tertinggi. Termasuk jika peristiwa yang memuaskan itu, bersifat dangkal namun implikasinya instan.
Daniel Sanderson, 2024, dalam “The Impact of Social Media on Culture” sepakat dengan formulasi itu. Disebutkannya, komoditas perhatian melanggengkan hal-hal remeh, melebihi substansinya. Juga, ilusi keterhubungannya menutupi kedangkalan interaksi. Pengejaran kesempurnaannya mengaburkan keaslian maupun kelemahan keadaan.
Ada upaya sistematis, menjadikan peristiwa yang tak penting mampu meraih perhatian Jika didesripsikan lebih dalam --perisitiwa yang mampu memberikan kepuasaan instan-- adalah yang mampu membangkitkan rasa ingin tahu, terlebih yang bersifat langka.
Rasa ingin tahu terjawab oleh unggahan yang cepat dipahami. Sedangkan kelangkaan, menimbulkan keeengganan untuk memalingkan perhatian. Pengemasan unggahan media sosial dilakukan atas dasar cara berpikir itu. Kerap jadi tontotanan menarik perhatian, walaupun dangkal.
Sedangkan yang kedua, algoritma media sosial itu sendiri. Ini merupakan rancangan pengembang platform. Tendensi pengembang platform: menahan pengguna media dalam waktu yang lama.
Dengan lebih lama, kuantitas jejak digital yang diolah platform bakal lebih banyak. Implikasinya: pengenalan terhadap karakter masing-masing pengguna media sosial makin dalam.
Selain itu, jika pasangan bola mata pengguna terus terarah pada unggahan-unggahan media sosial, dihasilkan nilai penjualan iklan yang lebih tinggi. Memang itu tujuan pengembangan platform yang penggunaanya gratis. Pembayarannya lewat data dan perhatian yang diserahkan kepada platform.
Dalam realitasnya, penyempurnaan algoritma tampilan unggahan terus dilakukan. Ini untuk menemukan aspek paling mendasar: alokasi belanja perhatian pada unggahan agar bertahan lama di media sosial.
Kecenderungannya, pengembang platform secara radikal berupaya memindahkan seluruh kehidupan pengguna media sosial ke perangkat digital. Ini misalnya melalui metaverse atau Games Roblox. Perangkat ini, dikembangkan agar makin mampu menyelenggarakan kehidupan, yang serupa dengan kehidupan nyata.
Seluruhnya berarti: agenda menyajikan ungahan yang memberikan kepuasan instan kepada penggunanya, terus dilakukan. Tanpa didasari skala kuantitatifnya pun, unggahan-ungahan media sosial memang dikurasi agar terus menciptakan daya tarik.
Tampaknya, dua penyebab di atas belum memadai untuk memahami tak terpenuhinya aspek proporsi yang dipertanyakan. Adakah penjelasan lebih lanjut pada fenomena Tumbler vs Berbagai Persoalan Nasional? Theory of Cognitive Heuristic yang digagas Daniel Kahneman dan Amos Tversky di tahun 1970-an, mungkin dapat menjelaskannya. Uraian kedua Psikolog Kognitif itu, dimuat pada makalahnya yang berjudul "Judgment Under Uncertainty: Heuristics and Biases".
Dijelaskannya, heuristik kognitif merupakan proses penilaian dengan mengandalkan intuisi. Walaupun berlangsung dalam kondisi ketidakpastian, namun dituntut untuk cepat menghasilkan keputusan, solusi, prediksi, maupun kesimpulan yang memadai.
Keadaannya tak ideal, namun tuntutan hasilnya harus optimal. Dengan melakukan heuristik kognitif diperoleh hasil yang berguna. Pelakunya bahkan tak menyadari telah melakukan jalan pintas pemikiran.
Relevan dengan dua keadaan di atas, informasi yang hadir intensif di media sosial menyebabkan pengguna harus cepat membuat keputusan. Ini lantaran, belum selesai satu unggahan diperiksa dengan cermat, sudah hadir unggahan baru yang menghendaki tanggapan segera.
Tanpa disadari pun, heuristik kognitif ditempuh. Maka dapat diduga, peristiwa yang melibatkan tumbler, jadi pilihan intuitif pengguna media sosial. Unggahan ini lebih terkait dengan keadaan diri banyak orang.
Setidaknya, jika bukan pengguna tumbler, benda itu ada di sekitarnya. Dan tanpa sengaja meninggalkan benda semacam tumbler dalam perjalanan, adalah peristiwa yang dapat dialami siapa pun.
Memproyeksikan keadaan diri yang mengalami ketinggalan tumbler, menjadi peristiwa yang sangat mudah dibayangkan. Relate, merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan pilihan itu.
Sedangkan ketika dalam waktu yang tak berselang lama, hadir berbagai unggahan yang berskala jauh lebih luas, minimnya tanggapan bukan semata-mata akibat rendahnya empati. Lebih buruk, pengguna media sosial tak lebih memilih yang menghibur hatinya. Penyebabnya bukan itu.
Di tengah intensifnya pilihan, frasa kunci heuristik “relate” dengan tema unggahan jadi penjelasan yang memadai. Ini tampak, perhatian yang diberikan pada peristiwa dalam kategori kedua pun, diberikan pada aspek yang relate dengan dirinya.
Baca Juga:
Buruknya sistem pengawasan sehingga ada bandara yang disebut ilegal, kekejaman korporat pada petani pemilik tanah, rasa lapar akibat lama tak memperoleh pertolongan dalam bencana. Namun sangat jarang, ada pembahasan yang menyentuh aspek strukturalnya. Terlampau jauh untuk menanggapi itu.
Dan dari seluruhnya, kemudian diperoleh perspektif: intensifnya arus informasi –termasuk di media sosial-- makin membentuk cara khalayak berpikir. Dipilih jalan pintas, dalam menimbang keputusan.
Heuristik kognitif jadi keniscayaan, ketika belanja perhatian harus dilakukan dengan cepat. Tujuannya, memperoleh kepuasan instan yang optimal. Walaupun kadang itu berarti, terjadi kesalahan menanggapi. Tapi itu paradoks, yang mungkin menyebabkan dunia bertahan dalam keasyikannya.
Kolom oleh Dr. Firman Kurniawan S.
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital Pendiri LITEROS.org
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Firman Kurniawan pada 04 Dec 2025