Komunitas
Eksploitasi Hutan Diduga Picu Banjir Bandang di Sumatra
MAKASSARINSIGHT.com - Sejumlah wilayah di Sumatra seperti Aceh, Sumatra Utara (Sumut) dan Sumatra Barat (Sumbar) kembali dilanda banjir bandang dan tanah longsor. Eksploitasi hutan secara besar-besaran disebut jadi pemicu masifnya dampak dari bencana tersebut.
Informasi yang dihimpun dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), hilangnya tutupan hutan di kawasan Batang Toru menjadi penyebab parahnya dampak banjir di Sumut. Diketahui, wilayah yang paling parah terkena dampak adalah daerah-daerah dalam Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru), meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga.
Bencana ini memaksa puluhan ribu penduduk mengungsi, menghancurkan ribuan rumah, serta merusak ribuan hektare lahan pertanian yang tersapu banjir. Data terkini mencatat 51 desa dan 42 kecamatan mengalami dampak bencana. Selain melumpuhkan aktivitas ekonomi lokal, banjir mengakibatkan kerusakan pada infrastruktur, tempat ibadah, dan fasilitas pendidikan.
Baca Juga:
- BPOM Luncurkan Layanan AI Pertama di Indonesia untuk Percepatan Izin Edar, Perkuat UMKM
- KONI Makassar Apresiasi Pembinaan Barongsai Jelang Porprov 2026
- 11.390 Calon RT/RW Siap Bertarung, Makassar Bersiap Gelar Pemilihan Serentak 3 Desember
Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba, menerangkan Ekosistem Harangan Tapanuli atau Batang Toru adalah salah satu kawasan hutan tropis penting yang tersisa di Sumatra Utara. Wilayah ini secara administratif meliputi 66,7% area Tapanuli Utara, 22,6% Tapanuli Selatan, dan 10,7% Tapanuli Tengah.
Peran Krusial Batang Toru
Sebagai bagian dari rangkaian Bukit Barisan, hutan Batang Toru memiliki peran krusial sebagai sumber air utama, pencegah banjir dan erosi, serta pusat DAS yang mengalir ke wilayah hilir.
“Setiap banjir membawa kayu-kayu besar. Citra satelit menunjukkan hutan gundul di sekitar lokasi. Ini bukti campur tangan manusia melalui kebijakan yang memberi ruang pembukaan hutan. Ini adalah bencana ekologis akibat kegagalan negara mengendalikan kerusakan lingkungan,” ujar Rianda dalam keterangan resmi, dikutip Jumat, 28 November 2025.
Walhi Sumatra Utara mengidentifikasi tujuh perusahaan yang diduga bertanggung jawab atas kerusakan akibat aktivitas yang membuka tutupan hutan Batang Toru secara berlebihan. “Kami mengindikasikan tujuh perusahaan sebagai pemicu kerusakan karena aktivitas eksploitatif yang membuka tutupan hutan," ujarnya.
Sementara itu, proyek PLTA Batang Toru turut menyebabkan hilangnya lebih dari 350 ha tutupan hutan di sepanjang 13 km daerah sungai. Hal ini memicu gangguan fluktuasi debit sungai, sedimentasi tinggi akibat pembuangan limbah galian terowongan, dan pembangunan bendungan.

Data BNPB mencatat delapan orang tewas akibat banjir dan longsor di Kabupaten Tapanuli Selatan. Korban lainnya mencakup 58 orang luka-luka dan 2.851 warga mengungsi.
Di Kabupaten Tapanuli Utara, 50 unit rumah terkena dampak dan dua jembatan terputus. BPBD bersama tim gabungan melakukan pendataan dan merekomendasikan jalur alternatif Pangaribuan-Silantom sebagai akses sementara.
Di Tapanuli Tengah, sebanyak 1.902 unit rumah terdampak banjir yang menyebar di sembilan kecamatan: Pandan, Sarudik, Badiri, Kolang, Tukka, Lumut, Barus, Sorkam, dan Pinangsori.
BPBD Tapanuli Tengah bersama tim gabungan telah mendirikan tenda pengungsian dan menyalurkan bantuan sembako kepada korban. Pendataan jumlah warga dan wilayah terdampak masih bersifat sementara dan berpotensi bertambah seiring kajian cepat lanjutan di lapangan.
Baca Juga:
- KONI Makassar Jajaki Kerja Sama dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk Perlindungan Atlet dan Pelatih
- Perumda Parkir dan Dishub Makassar Bentuk Tim Gabungan Tertibkan Pelanggaran Parkir
- Industri Wood Pellet Kian Bebas Deforestasi, BJA Group Gelar Aksi Tanam Pohon Gamal ke-20 Juta
Greenpeace menyatakan deretan bencana besar belakangan ini bukan sekadar cuaca buruk, tapi konsekuensi krisis iklim yang selama ini diabaikan pengambil kebijakan.
Menurut Greenpeace, pendidihan global yang didorong oleh emisi gas rumah kaca, sebagian besar bersumber dari energi fosil, deforestasi, dan industri ekstraktif, telah menyebabkan gangguan sistemik pada iklim dan memperburuk risiko bencana alam di seluruh wilayah Indonesia. “Kita tidak bisa lagi menormalkan cuaca ekstrem dan musim yang kacau sebagai hal biasa,” ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu.
Meski krisis iklim membayangi, hingga 2024 Indonesia mencatat rekor produksi batu bara tertinggi dalam sejarah, yakni 836 juta ton, melampaui target awal 710 juta ton dan peningkatan 7 % dari tahun sebelumnya (775 juta ton). “Tanpa komitmen nyata menurunkan emisi, masyarakat akan terus menghadapi musim yang tidak menentu, gagal panen, banjir bandang, hingga krisis air bersih,” kata Bondan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Chrisna Chanis Cara pada 28 Nov 2025
