Ini Alasan Iran Bisa Kembangkan Rudal Canggih Meski Disanksi Dunia

(null)

MAKASSARINSIGHT.com, TEHERAN - Di tengah sanksi internasional yang menjerat selama lebih dari empat dekade, Iran secara mengejutkan mampu mengembangkan teknologi rudal dan senjata canggih. 

Keberhasilan ini tidak muncul dalam semalam, melainkan hasil dari strategi industri pertahanan mandiri, pembelajaran keras dari konflik bersenjata, serta diplomasi unik melalui jaringan proksi di kawasan.

Perang Iran-Irak (1980–1988) menjadi titik balik kesadaran militer Iran. Negara ini mengalami kelumpuhan suplai senjata karena sanksi internasional dan embargo senjata. Saat itu, hanya lima negara yang bersedia menjual persenjataan kepada Iran, dengan harga mahal dan kualitas rendah.

Pengalaman pahit ini diperparah oleh serangan rudal Scud-B dari Irak yang menewaskan ribuan warga sipil. Sejak itu, para pemimpin Iran menyadari bahwa menguasai teknologi rudal bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan untuk bertahan hidup.

Baca Juga: 

Industri Pertahanan Mandiri yang Maju

Sebagai respons, Pemimpin Tertinggi Iran saat itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini, memerintahkan pendirian Organisasi Industri Pertahanan (DIO) pada 1989. Lembaga ini menjadi tulang punggung pengembangan senjata domestik, termasuk rudal dan drone.

Iran mengandalkan reverse engineering terhadap rudal-rudal tua seperti Scud yang didapat dari Korea Utara, Libya, dan Suriah. Hasilnya, rudal Shahab-1 yang awalnya berjangkauan 300 km berkembang menjadi Shahab-3 yang bisa menjangkau 2.000 km, cukup untuk menghantam Israel.

Iran juga mengembangkan rudal presisi seperti Fateh-110 dan Khorramshahr, serta rudal hipersonik Fattah yang diklaim mampu menembus sistem pertahanan canggih.

Berbeda dari negara-negara besar yang menguji senjatanya di pangkalan tertutup, Iran mengandalkan jaringan proksi seperti Hezbollah, Houthi, dan Hamas untuk menguji rudal-rudalnya langsung di medan tempur. 

Hezbollah menggunakan rudal Fajr-5 dalam perang melawan Israel pada 2006, sementara Houthi di Yaman meluncurkan rudal Qiam-1 dan Burkan-2 ke Arab Saudi. 

Di sisi lain, Hamas di Gaza meluncurkan rudal buatan Iran ke kota-kota besar Israel. Penggunaan senjata di lapangan memberikan data riil bagi insinyur Iran untuk meningkatkan akurasi dan efektivitas sistem persenjataan mereka.

Sanksi ekonomi memaksa Iran berpikir kreatif dalam mempertahankan dan mengembangkan industrinya. Iran kerap menggunakan sistem barter minyak dengan teknologi militer, seperti pertukaran minyak mentah dengan mesin rudal Hwasong-10 dari Korea Utara. 

Selain itu, banyak komponen elektronik diimpor terselubung melalui jalur sipil dari China atau Uni Emirat Arab. Untuk melindungi produksi dan risetnya, Iran juga membangun pabrik rudal di fasilitas bawah tanah seperti Imam Ali Base di dekat Qom, yang didesain tahan serangan udara dan pengintaian satelit.

Baca Juga:

Evolusi Rudal Iran

Iran telah mengembangkan berbagai jenis rudal balistik dengan jangkauan dan kemampuan berbeda, masing-masing dirancang untuk memenuhi kebutuhan strategis tertentu. 

Rudal Shahab-1, yang berbasis pada teknologi Scud-B buatan Uni Soviet, memiliki jangkauan 300 km dengan akurasi sekitar 500 meter dan ditujukan untuk target dalam negeri Irak selama masa perang. 

Sementara itu, Shahab-3 yang memiliki jangkauan 2.000 km dan akurasi lebih baik, sekitar 250 meter, didasarkan pada teknologi Scud-C yang dikombinasikan dengan No-Dong Korea Utara. Rudal ini ditujukan ke Israel dan pangkalan-pangkalan AS di kawasan Teluk.

Kemajuan signifikan tampak pada rudal Ghadr-110 yang merupakan hasil desain lokal Iran. Dengan jangkauan 1.950 km dan akurasi mencapai 100 meter, rudal ini dirancang untuk menyerang pangkalan militer AS di Qatar dan Uni Emirat Arab. 

Rudal Khorramshahr, hasil adaptasi dari Hwasong-10 Korea Utara, bahkan memiliki jangkauan hingga 2.500 km dan akurasi luar biasa, mencapai 30 meter, menjadikannya ancaman nyata bagi Eropa Timur dan Israel. 

Di puncak teknologi rudal Iran saat ini adalah Fattah, rudal hipersonik dengan kecepatan Mach 15, jangkauan 1.400 km, dan akurasi hingga 10 meter dirancang khusus untuk menembus sistem pertahanan udara Israel.

Namun, di balik pencapaian tersebut, Iran masih menghadapi sejumlah tantangan serius dalam sektor rudal. Ketergantungan pada impor bahan bakar roket dari China menunjukkan bahwa produksi mandiri belum sepenuhnya stabil, terutama untuk bahan bakar padat hibrida yang masih bermasalah dari segi kualitas. 

Aspek keamanan siber juga menjadi kelemahan utama. Pada tahun 2023, kelompok peretas Predatory Sparrow yang diduga memiliki kaitan dengan Israel berhasil membobol sistem pengujian rudal Iran, memperlihatkan celah besar dalam infrastruktur digital militer negara tersebut. 

Serangan ini bukan hanya merugikan secara teknis, tetapi juga mempermalukan Teheran di mata dunia, serta memperlihatkan rentannya jaringan komando dan kontrol mereka terhadap infiltrasi asing.

Meski demikian, ambisi Iran tak surut. Pada tahun 2025, Iran meluncurkan Fattah-2, rudal hipersonik generasi kedua, sebagai bukti kelanjutan program senjatanya menuju kecepatan dan presisi lebih tinggi. 

Selain itu, Iran juga mempercepat pengembangan teknologi rudal antariksa, ditandai dengan peluncuran satelit Noor-3 pada tahun sebelumnya. Jika mampu mengembangkan rudal antar-benua (ICBM) dengan jangkauan hingga 10.000 km, Iran dapat memperluas proyeksi militernya hingga Eropa Barat dan bahkan Amerika Serikat, mengubah keseimbangan strategis global secara drastis.

Iran menjadi bukti, bahwa keterbatasan tidak selalu jadi penghalang. Melalui kombinasi isolasi paksa, kecerdikan teknis, dan pemanfaatan konflik regional, Teheran berhasil membangun sistem pertahanan strategis yang menantang hegemoni militer di kawasan. Meski belum setara dengan rudal buatan AS atau Rusia, Iran telah menciptakan "deterrent effect" yang signifikan di Timur Tengah.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 17 Jun 2025 

Editor: Isman Wahyudi
Bagikan

Related Stories