Ini 10 Tips Supaya Kamu Nggak Jadi Founder Startup Karbitan

Ilustrasi karyawan start up. (Pixabay)

MAKASSARINSIGHT.com - Di sebuah kafe kecil di Jakarta Selatan, Raka duduk termenung di depan laptopnya. Ia baru saja mengirimkan proposal startup ke investor lokal, tapi jawabannya kembali lagi: “Maaf, ide Anda belum bisa kami dukung.”

Padahal, sudah dua bulan terakhir ia begadang membangun startup impiannya—aplikasi berbasis AI untuk manajemen emosi anak muda. Ia yakin ini keren. Tapi masalahnya, ternyata belum tentu dibutuhkan pasar. Ini bukan pertama kalinya Raka ditolak. Tapi kali ini, ia mulai bertanya: “Apa yang salah?”

Ternyata, Raka tidak sendiri. Banyak anak muda lain yang punya mimpi membangun startup, tapi akhirnya tumbang di tengah jalan. Bukan karena kurang semangat atau ide yang jelek, tapi karena nggak punya bekal strategi yang tepat.

Baca Juga: 

Nah, biar kamu nggak jatuh ke lubang yang sama, berikut ini 10 jurus ampuh membangun startup yang bukan hanya sukses, tapi juga berkelanjutan. Tips ini dirangkum dari berbagai riset global dan pengalaman nyata para founder dunia. Baca sampai habis ya, siapa tahu kamu sedang ada di titik yang sama seperti Raka tadi.

1. Mulai dari Masalah Nyata, Bukan Sekadar Ide

Coba bayangkan, kamu punya ide bikin aplikasi yang bisa nge-detect mood lewat suara. Keren? Bisa jadi. Tapi… siapa yang butuh?
Nah, ini dia kesalahan klasik: terlalu jatuh cinta sama ide sendiri. Dalam bukunya The Lean Startup, Eric Ries menekankan pentingnya membuat MVP (Minimum Viable Product)—produk versi sederhana yang langsung diuji ke pasar.

Kamu harus berani tanya ke calon pengguna: “Ini beneran masalah kalian nggak sih?” Kalau jawabannya iya, berarti kamu di jalur yang benar. Kalau enggak, lebih baik putar balik sekarang daripada nyesel nanti.

Ingat: Startup hebat bukan dimulai dari ide jenius, tapi dari masalah nyata yang butuh solusi.

2. Bangun Model Bisnis yang Bertanggung Jawab

Zaman sekarang, dunia tidak butuh startup yang cuma mikirin cuan. Konsumen dan investor udah makin sadar. Mereka lebih tertarik ke startup yang juga peduli sama lingkungan dan masyarakat.

Misalnya, startup fashion yang pakai bahan daur ulang, atau aplikasi logistik yang ngurangin emisi karbon. Startup kayak gini bukan cuma dilirik pasar, tapi juga lebih tahan banting karena punya nilai tambah.

Ingat: startup jagoan itu bukan cuma profit-minded, tapi juga people dan planet-minded.

3. Sustainability Itu Bukan Tren, Tapi Masa Depan

Bayangkan kamu bikin produk skincare. Bahan-bahannya oke, packagingnya kece. Tapi plastiknya susah didaur ulang, dan kamu buang limbah sembarangan ke sungai.

Yap, itu contoh startup yang keren di luar, tapi buruk di dalam. Kalau kamu mau bikin usaha yang bertahan lama, pikirkan soal dampak lingkungan sejak awal. Terapkan prinsip eco-design dan pelajari standar seperti GRI atau SASB.

Ingat: Bisnis ramah lingkungan = bisnis ramah masa depan.

4. Teknologi Itu Teman, Tapi Pilih yang Tepat

Kamu nggak harus bikin platform AI supercanggih atau metaverse segala kalau itu nggak relevan. Teknologi harus jadi alat bantu, bukan alat pamer.

Gunakan teknologi yang tepat guna dan ramah lingkungan. Misalnya, cloud storage yang efisien energi, atau tools kolaborasi digital buat ngurangin perjalanan bisnis.

Ingat: Teknologi bukan buat gaya-gayaan, tapi untuk menyelesaikan masalah dan menciptakan dampak.

5. Kolaborasi Itu Kunci, Bukan Tanda Lemah

Bayangkan kalau kamu bikin aplikasi edukasi tapi nggak ngerti dunia pendidikan. Kenapa nggak ajak kolaborasi dosen atau guru?

Banyak startup sukses karena mereka jago bangun jaringan. Mereka kolaborasi dengan universitas, NGO, bahkan kompetitor, lewat konsep open innovation. Contohnya, startup Primal Soles di Belanda sukses besar setelah kerja bareng World Economic Forum.

Ingat: Kerja bareng = tumbuh bareng.

6. Tim Solid, Meski Kerja Jarak Jauh

Kamu mungkin punya teman satu tim yang tinggal di Bandung, satu lagi di Bali, sisanya di luar negeri. Tapi jangan khawatir—dengan tools seperti Notion, Trello, dan Slack, kolaborasi lintas kota bahkan lintas benua jadi makin gampang.

Yang penting, kamu punya visi yang sama dan komunikasi yang lancar. Pandemi membuktikan bahwa kerja remote bisa efisien asal sistemnya benar.

Ingat: Startup hebat nggak harus sekantor. Tapi harus sejiwa.

Baca Juga: Startup Ini Ciptakan Kopi Tanpa Biji, Gimana Caranya?

7. Mindset Sistem, Bukan Cuma Jualan

Bayangkan kamu jual produk kopi. Tapi kamu juga harus mikir: dari mana bijinya? Gimana petaninya? Apakah limbahnya merusak lingkungan?

Itulah pendekatan systems thinking. Melihat startup kamu sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar. Dengan mindset ini, kamu bisa membuat keputusan yang lebih bijak dan berkelanjutan.

Ingat: Jangan cuma mikir profit hari ini. Pikir juga dampak jangka panjangnya.

8. Edukasi Tim = Investasi Jangka Panjang

Pernah lihat startup yang produknya keren, tapi timnya saling silang visi? Nah, itu resep kegagalan.

Kamu harus rajin edukasi tim tentang nilai-nilai perusahaan, prinsip keberlanjutan, dan visi jangka panjang. Bikin budaya kerja yang care, bukan cuma kompetitif.

Ingat: Tim hebat bukan yang paling pintar, tapi yang paling selaras.

9. Siap Pivot, Jangan Terlalu Kaku

Tahukah kamu bahwa Twitter dulunya adalah platform podcast bernama Odeo? Tapi setelah nggak berhasil, mereka pivot ke model mikroblogging. Sisanya adalah sejarah.

Dalam dunia startup, perubahan adalah hal yang pasti. Kamu harus siap mengubah arah jika data di lapangan menunjukkan bahwa ide awalmu nggak bekerja.

Ingat: Bukan soal siapa yang paling canggih. Tapi siapa yang paling adaptif.

10. Ikut Inkubator, Kompetisi, dan Cari Validasi Eksternal

Kadang, kamu butuh lebih dari sekadar teman dan modal sendiri. Kamu butuh mentor, relasi, dan validasi eksternal.

Banyak inkubator dan kompetisi startup yang bisa membuka jalanmu. Misalnya, program dari UNDP, WEF, Google for Startups, atau BEKUP (Baparekraf for Startup). Startup yang pernah ikut program semacam ini biasanya lebih dilirik investor karena dianggap sudah “teruji”.

Ingat: Jangan malu cari panggung. Tapi pastikan kamu tampil dengan nilai.

Baca Juga: 

Gagal Itu Boleh, Asal Gagal yang Berarti

Kembali ke cerita Raka di awal tadi. Setelah evaluasi panjang dan ngobrol dengan beberapa mentor, Raka sadar satu hal penting: dia terlalu fokus pada idenya sendiri, tapi lupa bertanya ke calon pengguna.

Ia pun mulai dari nol lagi. Kali ini, ia ngobrol langsung dengan komunitas anak muda, riset lebih dalam soal kebutuhan mereka, dan bikin MVP yang simpel tapi tepat sasaran. Ia juga daftar ke program inkubator lokal. Dan akhirnya, setelah satu tahun, idenya dilirik oleh investor.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Idham Nur Indrajaya pada 05 Jul 2025 

Editor: Isman Wahyudi
Bagikan
Isman Wahyudi

Isman Wahyudi

Lihat semua artikel

Related Stories