Hukum dan Kriminal
Krisis Kepercayaan, Ini Deretan Kasus Korupsi yang Melibatkan MK dan KY
MAKASSARINSIGHT.com - Sebagai penjaga konstitusi dan pengawas etik peradilan, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) memegang peran vital dalam menjaga integritas sistem hukum di Indonesia.
Namun, di balik wibawa dan kepercayaan yang melekat, kedua lembaga ini tak luput dari bayang-bayang korupsi. Sejumlah kasus besar menyingkap borok moral yang selama ini tersembunyi di balik jubah kehormatan hakim dan aparat penegak etik.
Dirangkum TrenAsia dari berbagai sumber, Jumat, 25 April 2025, berikut deretan kasus korupsi yang pernah melibatkan MK dan KY,
Baca Juga:
- Tangkal LGBT, Peran Tokoh Agama dan Orang Tua Penring dalam Mendidik Anak Sejak Dini
- Pemkot Makassar Raih Penghargaan Penyelenggara Pemerintah Terbaik dari Kemendagri
- BRI Genjot Pembiayaan Rakyat, KUR Tembus Rp42,23 Triliun di Kuartal I 2025
Kasus Patrialis Akbar, Hakim MK
Pada tanggal 25 Januari 2017, publik dikejutkan oleh penangkapan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) ketika seharusnya mengikuti rapat kerja di Cisarua.
Tuduhan yang menjeratnya tidak main-main, menerima suap sebesar Rp 2,15 miliar dalam bentuk uang tunai USD 10.000 dan Rp 4 juta dari seorang importir daging.
Uang suap itu berkaitan dengan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang saat itu tengah ditangani MK.
Dalam persidangan, Patrialis dijatuhi vonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Kasus ini menjadi preseden buruk dan memperlihatkan bagaimana kekuasaan yudisial bisa diperdagangkan demi kepentingan pribadi.
Kasus Akil Mochtar, Ketua MK
Lebih dulu dari kasus Patrialis, skandal besar menimpa Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi kala itu. Pada 2 Oktober 2013, KPK menangkapnya dalam OTT atas dugaan menerima suap terkait penyelesaian sejumlah sengketa pemilihan kepala daerah.
Total suap yang diterima Akil tak tanggung-tanggung, mencapai Rp 57,78 miliar dan 500.000 dolar AS, berasal dari 15 perkara sengketa Pilkada.
Tak hanya suap, Akil juga dijerat dengan tindak pidana pencucian uang. Dalam proses peradilan, ia divonis hukuman penjara seumur hidup. Kasus ini menjadi titik balik yang mengguncang kepercayaan publik terhadap MK, dan menjadi simbol dari betapa dalamnya infiltrasi praktik mafia hukum di lembaga setinggi Mahkamah Konstitusi.
Kasus Korupsi Pegawai KY (AJK)
Komisi Yudisial yang dibentuk untuk menjaga etika hakim pun tak luput dari noda korupsi. Seorang pegawai KY berinisial AJK dilaporkan oleh lembaganya sendiri karena diduga melakukan korupsi sebesar Rp 4,1 miliar.
Modusnya berupa manipulasi data anggaran dan mark-up pengadaan barang. AJK diduga menaikkan nilai pembayaran dan menyimpan selisih dana ke dalam rekening pribadinya.
Ketua KY saat itu, Suparman Marzuki, menyatakan bahwa kasus ini menjadi pengingat bahwa tidak ada satu pun lembaga yang benar-benar kebal dari korupsi.
Sebagai respons, KY melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh PNS di bawah naungannya. Sekretaris Jenderal KY, Danang Wijayanti, juga menyampaikan bahwa proses pembenahan internal sudah dimulai dan terus berjalan.
Baca Juga:
- Anggota DPRD Makassar Ruslan Mahmud Meninggal Dunia, Wali Kota Munafri Sampaikan Bela Sungkawa
- Dari Lokal ke Global, BRI Bantu Batik Tulis Lamongan Mendunia
- Holding Ultra Mikro BRI Bantu 14,4 Juta Pengusaha Perempuan Bangkitkan UMKM dan Wujudkan Ekonomi yang Setara
Akar Masalah Korupsi di MK dan KY
Salah satu penyebab mendasar korupsi di MK adalah persoalan rekrutmen hakim yang tak sepenuhnya transparan dan objektif. Hakim MK bisa berasal dari tiga jalur, DPR, Mahkamah Agung, dan Presiden.
Namun, tidak semua lembaga menjalankan proses seleksi secara akuntabel dan partisipatif. Contohnya adalah penunjukan Patrialis Akbar oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2013, yang kala itu diprotes oleh Koalisi Masyarakat Sipil karena dianggap tidak melalui mekanisme yang terbuka.
Selain rekrutmen, lemahnya pengawasan juga menjadi masalah krusial. Dewan Etik Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan terbatas dan hanya bisa memberikan sanksi ringan.
Upaya memperkuat pengawasan dari luar juga terhambat karena MK sendiri menolak kewenangan Komisi Yudisial sejak 2006. Akibatnya, tidak ada kontrol yang benar-benar efektif untuk mencegah penyimpangan di tingkat tertinggi.
Kasus-kasus korupsi yang menimpa MK dan KY telah berdampak langsung pada citra lembaga. Citra positif MK yang sebelumnya mencapai 65,2% pada Maret 2013, anjlok menjadi hanya 8,8% pada Oktober 2013, pasca skandal Akil Mochtar.
MK yang dulunya sejajar dengan KPK dalam hal kepercayaan publik, kini justru diragukan integritasnya. Komisi Yudisial pun menghadapi tantangan besar untuk memulihkan kepercayaan setelah kasus korupsi internal terungkap.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 25 Apr 2025