Kehadiran Serikat Pekerja Krusial untuk Hadapi Tren PHK di Media

Ilustrasi serikat pekerja. (The News Guild.)

MAKASSARINSIGHT.com, JAKARTA — Gelombang PHK yang dialami ribuan pekerja media sejak pandemi COVID-19 hingga 2024 ini menjadi sorotan. Tren tersebut semakin mengkhawatirkan lantaran pekerja media cenderung tidak berdaya menghadapi PHK, ketiadaan pesangon hingga berbagai kasus ketenagakerjaan terkait.

Hal itu dinilai tak lepas dari minimnya keberadaan serikat pekerja di perusahaan media Tanah Air. Data Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen pada 2015 menunjukkan ada 40 serikat pekerja media di Indonesia. Namun, saat ini terhitung hanya belasan serikat pekerja media yang eksis.

Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogja, Gilang Desti Parahita, mengatakan industri media di Indonesia belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan publik maupun para pekerjanya. Hal ini, imbuhnya, karena neoliberalisasi industri media. 

Baca Juga: 

“Belum ada komitmen membangun ekosistem media yang sehat. Akibatnya mulai dari berita yang tidak berkualitas, terlalu dekat dengan penguasa hingga semena-mena dengan pekerja,” ujar Desti, sapaan akrabnya, dalam diskusi di Twitter Space bertema “Tren PHK di Media dan Strategi Menghadapinya” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Rabu, 1 Mei 2024 malam. 

Desti mendorong tumbuhnya serikat-serikat pekerja di media sehingga para pekerja memiliki daya tawar lebih terhadap perusahaan. Menurutnya, perlawanan akan mudah dipatahkan jika hanya bergerak secara individu. “Ini sudah industri neolib, melawannya juga harus kolektif,” tuturnya. 

Lebih jauh, dia mendorong keberadaan serikat pekerja sebagai klausul bagi media yang ingin terverifikasi di Dewan Pers. “Serikat Pekerja harus jadi syarat agar media terverifikasi,” tegasnya. Sebagai informasi, belum lama ini gelombang PHK media terus bermunculan di penjuru Nusantara. 

Dewan Pers mencatat pada 2023 saja setidaknya ada lebih dari 800 orang pekerja pers yang dipecat sepihak. Jumlah itu bisa lebih besar jika ditambahkan dengan perusahaan media lokal. Ironisnya, tak sedikit yang akhirnya gagal memperjuangkan hak dasar setelah PHK seperti pesangon.

Ketua AJI Balikpapan, Teddy Rumengan, mengatakan keengganan mengikuti proses hukum, pesimisme akan hasil hingga ancaman tertentu membuat para pekerja media tidak mendapatkan haknya usai PHK. 

Hal itu berdasarkan pengalamannya mendampingi sejumlah jurnalis yang di-PHK beberapa waktu terakhir. “Proses lama hingga takut kalah membuat mereka rata-rata mundur,” ujarnya.  

Butuh Konsistensi 

Dia mencontohkan upayanya mengadvokasi pesangon 15 karyawan di Balikpapan Post butuh waktu hingga tiga tahun sebelum akhirnya tuntutan dikabulkan. Januari 2024 lalu, perusahaan akhirnya membayar pesangon karyawan senilai total Rp353 juta. Saat itu para karyawan Balikpapan Post terkena PHK karena menggelar aksi mogok menuntut lingkungan kerja yang lebih kondusif.  

“Prosesnya memang bisa cukup panjang. Misal putusan hukum sudah memerintahkan perusahaan untuk bayar pesangon, belum tentu mereka bakal langsung membayarnya. Namun kasus di Balikpapan Post membuktikan konsistensi serta pendekatan persuasif bisa berujung manis,” ujar Teddy. 

Baca Juga: 

Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia, Edi Faisol, mengatakan pekerja media perlu membangun kesadaran berserikat sejak awal untuk menghadapi industri media yang tidak sehat. 

“Ini jadi upaya menaikkan posisi tawar untuk menghentikan eksploitasi terhadap buruh media. Selain itu, negara harus menjamin kebebasan berserikat buruh media dengan mengakui serikat lintas perusahaan sehingga bisa mewakili anggotanya dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama,” ujarnya. 

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Chrisna Chanis Cara pada 03 May 2024 

Editor: Isman Wahyudi
Bagikan
Isman Wahyudi

Isman Wahyudi

Lihat semua artikel

Related Stories