Politik
Garda Revolusi Iran: Dominasi Militer, Politik, hingga Ekonomi di Iran
MAKASSARINSIGHT.com - Korps Garda Revolusi Islam Iran, atau lebih dikenal sebagai IRGC (Islamic Revolutionary Guard Corps), merupakan institusi militer dan ideologis yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah modern Iran. Dibentuk segera setelah Revolusi Islam 1979, IRGC tumbuh dari pasukan revolusioner menjadi kekuatan militer, politik, dan ekonomi paling dominan di Republik Islam Iran.
Dilansir dari laman Ensiklopedia Britanica, Sabtu, 5 Juli 2025, pada tahun 1979, Revolusi Islam di Iran berhasil menggulingkan Shah Mohammad Reza Pahlavi dan menggantikan monarki tersebut dengan pemerintahan teokratis di bawah kepemimpinan Ayatollah Ruhollah Khomeini.
Untuk mengamankan revolusi dari ancaman internal dan eksternal, Khomeini mendirikan IRGC sebagai penyeimbang dari militer reguler (Artesh) yang sebelumnya loyal kepada Shah.
Baca Juga:
- Saham BBRI Dapat Angin Segar dari Para Analis
- Ingin Bekerja di Jepang? Baca Dulu Gaji, Syarat, dan Tips Sukses
- Perkuat Langkah Transformasi, BRI Luncurkan Inisiatif Strategis BRIvolution Tahap Pertama
Konstitusi Iran yang disusun pada tahun yang sama secara resmi mencantumkan peran IRGC sebagai pelindung nilai-nilai revolusi Islam dan penjaga sistem Republik Islam yang telah ia rintis.
Pada awal tahun 1980-an, IRGC dengan cepat mengembangkan organisasi militernya. Organisasi militer ini aktif dalam menumpas oposisi domestik, termasuk kelompok sekuler, kiri, dan nasionalis. Ketika Perang Iran-Irak meletus pada 1980, IRGC berperan sebagai kekuatan utama di garis depan, memperkuat reputasi dan otoritasnya.
Perang ini menjadi titik balik penting. IRGC tidak hanya memperluas struktur militernya menjadi angkatan darat, laut, dan udara, tetapi juga mengembangkan jaringan logistik, intelijen, dan pasukan khusus, termasuk Pasukan Quds, yang kelak memainkan peran penting dalam operasi regional Iran.
Transformasi IRGC, dan Keterlibatan dalam Politik
Setelah perang berakhir pada tahun 1988, IRGC mulai memasuki sektor pembangunan nasional. Di bawah Presiden Akbar Hashemi Rafsanjani, korps ini mendapatkan kontrak besar untuk proyek infrastruktur. Namun, keterlibatan politik IRGC semakin nyata sejak era reformasi Presiden Mohammad Khatami (1997–2005), ketika mereka secara terbuka menentang upaya liberalisasi sosial dan politik.
Sayap intelijen IRGC berkembang pesat pada masa ini, memperkuat kontrol atas ruang publik dan media, serta mengawasi oposisi politik dan masyarakat sipil.
Pemilihan Mahmoud Ahmadinejad, mantan anggota IRGC, sebagai presiden pada tahun 2005 memperkuat posisi korps dalam pemerintahan. Banyak perwira senior IRGC diangkat ke jabatan-jabatan strategis, termasuk di kementerian dan parlemen. IRGC juga memperoleh akses luas terhadap proyek-proyek negara, khususnya di sektor energi dan konstruksi.
Pada tahun 2009, IRGC dan milisi relawan Basij menjadi alat utama dalam menekan demonstrasi pasca-pilpres yang diduga curang. Sejak saat itu, kekuatan IRGC dalam bidang keamanan dalam negeri meningkat tajam.
Pengembangan Nuklir dan Rudal Balistik
Program nuklir Iran membawa IRGC menjadi target utama sanksi internasional. Meski terkena dampak ekonomi, IRGC juga memperoleh keuntungan melalui jalur ekonomi gelap dan penyelundupan.
Pada tahun 2015, korps ini mendukung perjanjian nuklir JCPOA sebagai jalan mengurangi tekanan ekonomi yang membuat Iran porak poranda, meski tetap mempertahankan program rudal balistiknya.
Baca Juga:
- Transparan dan Akuntabel, Munafri Lapor Realisasi APBD 2024 Capai 84 Persen di DPRD Makassar
- Gerakan Jumat Bersih Diluncurkan, Pemkot Makassar Tuai Apresiasi dari Guru Besar FKM Unhas
- Satgas Gabungan Siap Sapu Bersih Jukir Liar di Makassar
Program rudal balistik Iran yang digawangi IRGC menjadi salah satu yang terbesar di kawasan Timur Tengah, membuat Iran disegani sekaligus dikhawatirkan oleh negara-negara tetangga dan Barat.
Pasca tahun 2018, ketika Amerika Serikat keluar dari JCPOA dan kembali menjatuhkan sanksi, IRGC mendapat tekanan besar. Puncaknya terjadi pada 2020 saat komandan Pasukan Quds, Qassem Soleimani, tewas dalam serangan drone AS di Irak. Peristiwa ini menjadi pukulan simbolik bagi reputasi IRGC di mata publik.
Di dalam negeri, korps ini menghadapi kritik tajam atas keterlibatannya dalam represi brutal terhadap demonstrasi rakyat, termasuk setelah kematian Mahsa Amini pada tahun 2022. Skandal korupsi, kebocoran informasi intelijen, dan ketegangan internal juga memicu perombakan kepemimpinan pada tahun 2022.
Kematian Presiden Ebrahim Raisi pada tahun 2024, seorang sekutu utama IRGC dan kandidat kuat pengganti Khamenei, menciptakan ketidakpastian besar dalam politik Iran. Di tengah spekulasi soal suksesi kepemimpinan, IRGC berada dalam posisi strategis, namun tetap bergantung pada legitimasi keagamaan dari pemimpin tertinggi.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 05 Jul 2025