Ombudsman RI : Penerapan Perwali 36 Makassar Kacau Berantakan

Selasa, 14 Juli 2020 22:35 WIB

Penulis:Rizal Nafkar

Makassar
Makassar

Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan menilai penerapan Peraturan Wali Kota Makassar Nomor 36 Tahun 2020 tentang percepatan pengendalian COVID-19 hanya sebatas formalitas. Memantau situasi di lapangan, Ombudsman masih mendapati masih banyak masyarakat yang bebas keluar masuk Kota Makassar tanpa diperiksa ketat.

Penerapan perwali sebelumnya telah melalui tahap uji coba sejak Minggu, 12 Juli dan berlanjut ke peresmian pemberlakuan pada Senin, 13 Juli 2020 kemarin. Salah satu aturannya adalah wajib surat keterangan COVID-19 bagi yang hendak keluar-masuk Makassar.

 

"Lagi-lagi saya khawatirkan ini formalitas saja. Saya dua hari mengamati, orang bertumpuk, kendaraan bertumpuk. Saya melihat ada yang diperiksa ada yang tidak, langsung saja jalan," kata Kepala Ombudsman RI Sulsel Subhan Djoer, Selasa (14/7/2020).

 

Pemerintah Kota Makassar melalui tim gabungan TNI-Polri, Satpol PP, Dinas Kesehatan hingga Dinas Perhubungan difokuskan mengamankan 11 titik yang menjadi gerbang dan perbatasan antar daerah. Salah satunya, gerbang perbatasan Kota Makassar, Jalan Hertasning, Jalan Aroepala dan Jalan Tun Abdul Razak, Kabupaten Gowa. Pada hari pertama penerapan, petugas hanya memberikan teguran tertulis kepada pelanggar.

Selain tidak memiliki surat keterangan bebas COVID-19, mereka yang kedapatan melanggar antara lain karena tidak menggunakan masker saat berkendara. Identitas pelanggar didata agar memudahkan petugas mengidentifikasi jika kembali melanggar di kemudian hari.

 

Menurut Subhan, kondisi itu justru berbanding terbalik dengan apa yang digembar-gemoborkan pemerintah selama ini. Dia menyinggung soal rencana pemeriksaan ketat hingga sanksi tegas kepada pelanggar.


"Ini kan menggunakan anggaran besar ini. Anggaran negara. Kalau pelaksanaannya seperti itu, kelihatannya lagi-lagi kita melaksanakan sesuatu sebatas formalitas saja. Hanya ingin kelihatan bahwa kita serius," ujar Subhan.

Ombudsman, kata Subhan, baru-baru ini kembali menerima keluhan dari masyarakat terkait pemeriksaan rapid test yang disediakan Pemerintah Provinsi Sulsel. Pemerintah memfasilitasi tes gratis kepada warga, tapi sebagian mengaku diminta membayar layanan tersebut.

 

"Beberapa orang dari daerah lewat perbatasan masuk Makassar dan di-rapid test. Gubernur kan sudah menyatakan kalau gratis, ternyata mereka membayar. Dan itu di atas ambang batas tertinggi," ungkap Subhan.

 

Merujuk Peraturan Menteri Kesehatan, batas normal biaya rapid test sebesar Rp150 ribu. Namun sejumlah warga yang memberikan informasi ke Ombudsman mereka dikenakan biaya di atas harga normal yang ditetapkan pemerintah.

 

"Itu baru sebatas informasi tapi kita membentuk tim untuk melakukan investigasi ke lapangan langsung. Bagaimana teknis pemeriksaannya kemudian, memastikan pembayaran sesuai dengan keluhan informasi yang kami terima," ujar Subhan.

 

Sederet persoalan tersebut lanjut Subhan, merupakan bukti bahwa pelaksanaan perwali tentang percepatan pengendalian COVID-19 di Makassar tidak begitu efektif dilakukan. Terlebih pola pelaksanaan pengamanan di lapangan yang dinilai masih amburadul. Menurut Subhan, target pemerintah untuk mengendalikan laju penyebaran COVID-19 di Makassar masih tidak jelas.

 

"Jelas ini masih tidak efektif. Misalnya penumpukan kendaraan juga masih terjadi kalau pun diperiksa. Harusnyakan bisa dibukakan jalur atau disediakan warga yang sudah diperiksa. Ini tidak. Orang tidak bertumpuk disatu tempat sehingga dia lolos," terang Subhan.

 

Ombudsnan lanjut Subhan mengingatkan agar pemerintah segera melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan perwali ini. Hal-hal yang dinilai masih kurang efektif segera dibenahi agar tujuan dan target untuk mengendalikan laju penularan dapat maksimal dilakukan.