Kamis, 04 Desember 2025 12:39 WIB
Penulis:El Putra
Editor:El Putra

MAKASSARINSIGHT.com - Biodiesel B50 merupakan bahan bakar campuran diesel yang terdiri dari 50% minyak sawit mentah (CPO) dan 50% diesel fosil. Program ini dirancang sebagai upaya strategis pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor BBM fosil, meningkatkan penggunaan energi domestik berbasis sawit, serta mendukung ketahanan energi nasional.
Pemerintah sendiri menargetkan implementasi B50 secara nasional mulai tahun 2026, setelah tahap uji jalan yang dijadwalkan berlangsung pada Desember 2025 di enam sektor strategis, termasuk transportasi dan pertanian.
B50 diharapkan dapat menyerap produksi CPO domestik, menjaga harga Tandan Buah Segar (TBS) petani, dan sekaligus mendukung upaya pengurangan emisi karbon.
Berdasarkan data outlook komoditas perkebunan sawit, kementerian pertanian, Indonesia saat ini memiliki luas perkebunan kelapa sawit sekitar 16,8 juta hektare, dengan produksi tahunan CPO mencapai 47- 50 juta ton pertahun.
Baca Juga:
Produksi sawit ini terus meningkat dari tahun ke tahun, misalnya pada 2022 mencapai 46,7 juta ton, lalu naik menjadi 50 juta ton pada 2023 dan tahun 2024.
Baca juga : Indikator Bahaya Tahun 2026, Buffett Soroti Shiller CAPE dan Risiko Koreksi
Pemerintah menegaskan bahwa tambahan lahan baru untuk mendukung B50 tidak diperlukan, karena fokus diarahkan pada intensifikasi, replanting, dan peningkatan produktivitas lahan sawit yang ada.
“Jadi kalau untuk kondisi B50 belum memerlukan tambahan lahan. Jadi ini kami koordinasikan dengan Kementerian Pertanian yang terkait dengan kecukupan bahan baku CPO ini. Kalau kita masuk ke B60 baru ada perlu penambahan lahan,” ujar Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung dikutip Rabu, 3 Desember 2025.
Dengan produktivitas rata-rata sekitar 3 ton CPO per hektare, upaya intensifikasi diharapkan dapat menaikkan hasil menjadi 5–6 ton per hektare, sehingga kebutuhan B50 sebesar 19 juta kiloliter dapat dipenuhi tanpa ekspansi lahan baru.
Meski ada klaim lahan sawit sudah mencukupi, permintaan tinggi dari program B50 tetap berpotensi memicu ekspansi perkebunan baru. Industri sawit selama dua dekade terakhir dikenal sebagai salah satu penyumbang utama deforestasi di Indonesia, terutama pembukaan hutan alam dan lahan gambut untuk perkebunan.
Deforestasi ini menghilangkan habitat satwa liar, merusak ekosistem kompleks, mengurangi keanekaragaman hayati, dan meningkatkan risiko emisi karbon.
Konversi lahan gambut untuk sawit juga memicu penurunan muka tanah (subsiden) dan pelepasan karbon besar ke atmosfer, yang berdampak pada perubahan iklim lokal dan global.
Banjir dan longsor yang melanda Sumatra pada akhir November hingga Desember 2025 menimbulkan dampak yang sangat besar bagi masyarakat dan lingkungan.
Korban tewas tercatat mencapai 753 Orang Meninggal, 650 Orang Hilang, dan lebih dari dua juta orang harus mengungsi akibat rumah mereka terendam air.
Wilayah terdampak mencakup banyak kabupaten dan kota di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, dengan kerusakan infrastruktur yang parah, akses jalan terputus, serta terganggunya layanan dasar.
Selain kerugian fisik, bencana ini menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan: desa-desa terisolasi, mata pencaharian hilang, dan trauma bagi komunitas terdampak.
Baca Juga:
Pemerintah dan organisasi kemanusiaan menilai bencana ini sebagai salah satu yang terparah tahun ini di Sumatra, sehingga operasi penyelamatan dan bantuan darurat terus dilakukan.
Salah satu faktor yang memperparah dampak banjir ini adalah deforestasi yang masif di Sumatra. Sejak 2001 hingga 2024, pulau ini kehilangan sekitar 4,4 juta hektar hutan, terutama di daerah hulu sungai dan Daerah Aliran Sungai (DAS), yang secara alami berfungsi menyerap air hujan.
Hilangnya tutupan hutan melemahkan kemampuan tanah menahan air, sehingga curah hujan ekstrem mudah mengalir deras ke hilir, meningkatkan risiko banjir.
Aktivitas konversi hutan menjadi perkebunan sawit, baik untuk ekspansi produksi maupun perkebunan baru, dianggap sebagai penyumbang utama peningkatan risiko banjir dan longsor.
Pakar dan aktivis lingkungan menekankan bahwa laju deforestasi, termasuk izin perkebunan dan pertambangan, mempercepat munculnya bencana hidrologis ketika hujan tinggi.
"Hutan di hulu bertindak sebagai penghalang pelindung, seperti spons, kanopi hutan menangkap sebagian air hujan sebelum mencapai tanah. Akar juga membantu menstabilkan tanah. Ketika hutan ditebang di hulu, air hujan mengalir deras ke sungai dan menyebabkan banjir bandang" jelas , pendiri lebaga pemantauan hutan dan deforestasi, The TreeMap, David Gaveau, dikutip laman The Star, Rabu, 3 Desember 2025.
Fenomena ini juga terkait dengan dorongan penggunaan bahan bakar nabati, seperti program B50 yang memadukan diesel dengan minyak sawit. Kenaikan permintaan minyak sawit untuk B50 berpotensi mendorong ekspansi perkebunan baru jika tidak disertai pengelolaan lahan yang berkelanjutan.
Tanpa kontrol ketat, pembukaan hutan baru untuk memenuhi kebutuhan energi ini meningkatkan risiko deforestasi dan mengganggu fungsi ekologis penting, termasuk kemampuan tanah dan hutan menahan curah hujan ekstrem.
Banjir Sumatra 2025 menjadi peringatan nyata bahwa hilangnya “spons” alami berupa hutan dan tutupan vegetasi menjadikan beban hujan ekstrem lebih destruktif, sehingga bencana tidak hanya merupakan akibat fenomena cuaca, tetapi juga hasil dari tekanan manusia terhadap ekosistem.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 04 Dec 2025