Minggu, 05 Oktober 2025 10:02 WIB
Penulis:El Putra
Editor:El Putra
MAKASSARINSIGHT.com - Klaim kaum Zionis bahwa wilayah Palestina dijanjikan kepada mereka oleh Tuhan berakar pada interpretasi tertentu terhadap teks-teks dalam Kitab Suci Ibrani (Hebrew Bible).
Dilansir laman Ensiklopedia Britanica, Jumat, 3 Oktober 2025, klaim ini menjadi dasar ideologis dari gerakan politik yang pada akhirnya melahirkan negara modern Israel pada 1948. Namun, perspektif ini tidak diterima secara universal.
Menurut laman Suara Muhammadiyah, didalam Islam, warisan tanah suci bukan ditentukan oleh etnis atau keturunan, melainkan oleh ketaatan dan keadilan menurut Al-Quran. Perbedaan tafsir inilah yang turut membentuk fondasi ideologis dalam konflik panjang antara Israel dan Palestina.
Baca Juga:
Dilansir dari Ensiklopedia Britanica, dalam tradisi Yahudi-Zionis, janji Tuhan kepada Nabi Ibrahim dianggap sebagai perjanjian kekal dan tanpa syarat. Berdasarkan kitab Kejadian (Genesis 15:18 dan 17:8), wilayah yang dijanjikan terbentang dari Sungai Mesir hingga Sungai Efrat, mencakup area yang kini meliputi Israel modern, Palestina, Yordania, dan sebagian wilayah negara tetangga.
Janji ini kemudian dipahami sebagai hak ilahi dan turun-temurun bagi keturunan Ibrahim melalui Ishak dan Yakub (Israel), serta diperkuat oleh eksistensi kerajaan kuno Yahudi di kawasan tersebut.
Sebaliknya, laman Suara Muhammadiyah mengungkap, perspektif Islam menafsirkan bahwa warisan tanah bukanlah hak absolut berdasarkan keturunan, melainkan hak bersyarat yang diberikan kepada mereka yang beriman dan berbuat adil.
Al-Quran dalam Surah Al-Anbiya [21:105] menyatakan: “Sesungguhnya bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” Dalam pandangan ini, kriteria utama bukan garis keturunan, melainkan ketaatan dan keadilan moral.
Wilayah yang disebut dalam Al-Quran tidak dijabarkan secara geografis, namun difokuskan sebagai tanah yang diberkahi, sehingga hak atas tanah tersebut didasarkan pada kelayakan moral dan spiritual, bukan klaim etnis semata.
Baca juga :
Pada akhir abad ke-19, klaim religius ini berubah bentuk menjadi gerakan politik modern. Menurut Britanica, Gerakan Zionisme yang dipelopori oleh Theodor Herzl muncul sebagai respons terhadap meningkatnya antisemitisme di Eropa.
Gerakan ini bertujuan menciptakan tanah air bagi bangsa Yahudi. Meski motivasi religius sangat kuat, secara strategis, Zionisme sempat mempertimbangkan wilayah lain sebelum akhirnya fokus pada Palestina, tanah yang diyakini sebagai “Tanah yang Dijanjikan”.
Momentum besar datang setelah Perang Dunia I, ketika Inggris menguasai Palestina dan mengeluarkan Deklarasi Balfour 1917, yang mendukung pendirian “tanah air nasional bagi bangsa Yahudi” di wilayah tersebut.
Dukungan kekuatan kolonial Eropa memberikan legitimasi internasional yang mempercepat realisasi proyek Zionis. Klaim agama yang semula bersifat spiritual kemudian bertransformasi menjadi agenda politik dan diplomasi internasional yang nyata.
Puncak transformasi politik ini terjadi pada 1948, ketika negara Israel resmi diproklamasikan. Peristiwa ini disambut perang Arab-Israel pertama, dan bagi rakyat Palestina, peristiwa tersebut disebut Nakba “bencana besar”.
Sekitar 700.000 warga Palestina terusir atau melarikan diri dari tanah kelahiran mereka, menjadi pengungsi hingga kini. Peristiwa ini bukan hanya penanda lahirnya negara Israel, tetapi juga awal dari konflik berkepanjangan yang melibatkan perebutan tanah, identitas nasional, dan hak untuk kembali bagi para pengungsi Palestina.
Sejak saat itu, konflik atas tanah dan kedaulatan menjadi salah satu isu geopolitik paling rumit di dunia modern.
Meski klaim agama menjadi fondasi ideologis, konflik Israel–Palestina jauh lebih luas daripada perdebatan teologis. Persoalan ini menyangkut perebutan tanah, sumber daya air, identitas nasional, keamanan, dan hak menentukan nasib sendiri.
Kedua pihak membawa narasi sejarah yang saling bertabrakan, sementara realitas politik dan kemanusiaan terus berkembang dari generasi ke generasi.
Kompleksitas ini membuat penyelesaian konflik tidak dapat hanya mengandalkan interpretasi teks suci, melainkan juga memerlukan pendekatan politik, diplomatik, dan kemanusiaan yang komprehensif.
Perdebatan tentang “tanah yang dijanjikan” menunjukkan betapa kuatnya peran teks agama dalam membentuk klaim politik dan nasionalisme modern. Namun, realitas di lapangan memperlihatkan konflik ini jauh melampaui tafsir kitab suci.
Kondisi tersebut merupakan gabungan sejarah panjang, politik global, dan perjuangan rakyat yang masih terus berlangsung hingga hari ini. Memahami akar klaim agama ini membantu menjelaskan mengapa konflik Israel-Palestina begitu sulit diselesaikan, karena ia berdiri di persimpangan antara keyakinan spiritual dan realitas geopolitik yang keras.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 05 Oct 2025