Ini Sejarah dan Makna Pohon Natal

Jumat, 26 Desember 2025 21:01 WIB

Penulis:Isman Wahyudi

Editor:Isman Wahyudi

Pohon Natal.
Pohon Natal. (pexels.com/cottonbro studio)

MAKASSARINSIGHT.com – Tradisi memasang pohon Natal berasal dari kebiasaan kuno yang berkembang selama berabad-abad hingga menjadi simbol perayaan Natal. Pohon Natal melambangkan kehidupan, cahaya, dan harapan di masa paling gelap dalam setahun, dengan akar sejarah yang berasal dari festival musim dingin pra-Kristen di Eropa.

Dilansir dari Party Alibaba, kebiasaan membawa pohon hijau abadi ke dalam rumah saat musim dingin sudah lazim di kalangan budaya pagan, yang melihat dedaunan hijau sebagai tanda kehidupan yang abadi selama bulan-bulan dingin.

Seiring waktu, kebiasaan ini menyatu dengan simbolisme Kristen, khususnya di Jerman pada abad ke-16, ketika umat Kristen yang taat mulai menghias pohon di dalam rumah mereka. Pohon-pohon tersebut sering dihiasi dengan lilin yang melambangkan Kristus sebagai terang dunia.

Baca Juga: 

Bentuk awal pohon Natal yang dihias ini kemudian menyebar secara bertahap ke seluruh Eropa dan selanjutnya ke Amerika Utara, hingga akhirnya menjadi bagian utama dari perayaan Natal modern. Saat ini, baik menggunakan pohon asli maupun buatan, pohon Natal telah menjadi simbol universal kegembiraan, kebersamaan keluarga, dan pembaruan musiman.

Asal Usul Pohon Natal: Dari Ritual Pagan hingga Simbolisme Kristen

Asal-usul pohon Natal berakar kuat pada tradisi Eropa pra-Kristen. Jauh sebelum agama Kristen berkembang, bangsa-bangsa seperti Kelt, Romawi, dan suku-suku Jermanik merayakan festival titik balik matahari musim dingin, seperti Yule, sebagai penghormatan atas kembalinya matahari setelah malam terpanjang.

Tanaman hijau abadi seperti holi, ivy, dan pohon cemara dianggap sangat istimewa karena tetap hijau sepanjang musim dingin, sehingga melambangkan ketahanan dan keberlanjutan hidup.

Masyarakat pada masa itu membawa ranting-ranting hijau ke dalam rumah untuk mengusir roh jahat, penyakit, dan praktik sihir, karena mereka percaya bahwa tanaman hijau tersebut memiliki kekuatan pelindung.

Ketika agama Kristen menyebar ke seluruh Eropa, para pemimpin gereja berupaya mengadaptasi kebiasaan budaya yang sudah ada ke dalam praktik keagamaan. Pada Abad Pertengahan, pertunjukan keagamaan yang menceritakan kisah-kisah Alkitab menjadi sangat populer, termasuk Paradise Play yang menampilkan pohon cemara yang digantungi apel sebagai lambang Taman Eden.

Pohon Surga ini dipajang pada tanggal 24 Desember, hari peringatan Adam dan Hawa, sehingga mengaitkan pohon hijau abadi dengan teologi Kristen. Lambat laun, pohon simbolis tersebut berpindah dari gereja ke rumah-rumah pribadi, terutama di Jerman, dan menjadi dasar munculnya tradisi pohon Natal modern.

Pengaruh Jerman dan Munculnya Pohon Natal yang Dihias

Jerman memainkan peranan penting dalam membentuk tradisi pohon Natal seperti yang kita kenal saat ini. Pada abad ke-16, umat Kristen yang taat di wilayah seperti Alsace dan Strasbourg mulai mendirikan pohon yang dihias di dalam rumah mereka.

Martin Luther, tokoh Reformasi Protestan, sering disebut sebagai sosok yang memperkenalkan lilin-lilin bercahaya pada pohon Natal setelah terinspirasi oleh cahaya bintang yang tampak di sela-sela dahan pohon hijau abadi saat berjalan di musim dingin. Meski bukti sejarahnya terbatas, kisah ini mencerminkan bagaimana cahaya kemudian dikaitkan dengan kehadiran ilahi dan pencerahan spiritual.

Pohon-pohon Natal awal ini dihias dengan benda-benda yang dapat dimakan seperti apel, kacang-kacangan, wafer, dan roti jahe, yang melambangkan kelimpahan serta godaan yang berhasil diatasi. Seiring waktu, muncul hiasan buatan tangan dari kertas, kaca, dan timah.

Keluarga berkumpul untuk menghias pohon pada malam Natal, yang semakin menegaskan peran pohon sebagai pusat kebersamaan keluarga dan perenungan spiritual. Ketika para imigran Jerman berpindah ke berbagai belahan dunia, mereka membawa serta tradisi berharga ini, yang kemudian menjadi cikal bakal penyebarannya secara global.

Menyebar ke Inggris dan Amerika Utara

Pohon Natal. (pexels.com/NastyaSensei)

Pohon Natal menjadi semakin populer di dunia berbahasa Inggris berkat pengaruh Ratu Victoria dan Pangeran Albert. Pada tahun 1848, sebuah ilustrasi yang dimuat dalam Illustrated London News menampilkan keluarga kerajaan berkumpul di sekitar pohon Natal yang dihias di Kastil Windsor.

Karena Ratu Victoria sangat populer, dan Pangeran Albert yang berdarah Jerman tetap mempertahankan keterikatan kuat dengan warisan budayanya, gambar tersebut memicu ketertarikan luas. Masyarakat pun dengan cepat meniru dekorasi perayaan keluarga kerajaan, sehingga pohon Natal menjadi tren di kalangan kelas atas maupun kelas menengah di Inggris.

Tren ini menyeberangi Samudra Atlantik menuju Amerika Utara, di mana para pemukim Jerman sebenarnya telah lebih dulu mempraktikkan tradisi tersebut dalam komunitas-komunitas kecil. Namun, pohon Natal baru benar-benar menjadi arus utama di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19.

Toko-toko serba ada mulai memasarkan berbagai hiasan pohon, sementara surat kabar memuat artikel tentang cara menghias pohon Natal dengan tepat. Pajangan publik di alun-alun kota dan gereja turut memperkenalkan dan menormalkan kebiasaan ini. Memasuki awal abad ke-20, pohon Natal telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya perayaan Natal di Amerika.

Makna Sosiokultural: Mengapa Kita Memasang Pohon Natal Saat Ini

Alasan modern dalam memasang pohon Natal tidak lagi terbatas pada praktik keagamaan semata. Bagi banyak orang, tradisi ini merupakan ritual budaya yang sarat dengan nostalgia, kebersamaan keluarga, dan suasana hangat khas akhir tahun.

Proses memilih, merakit, dan menghias pohon sering kali menjadi penanda dimulainya musim liburan. Pohon Natal pun berfungsi sebagai pusat kegiatan berkumpul, bertukar hadiah, dan menciptakan kenangan bersama. Secara psikologis, ritual ini memberikan rasa nyaman dan kesinambungan, terutama di tengah masa perubahan atau kehilangan.

Bagi sebagian orang lainnya, pertimbangan lingkungan dan etika turut memengaruhi pilihan mereka. Ada yang memilih pohon buatan karena lebih praktis dan dapat digunakan kembali, sementara yang lain lebih menyukai pohon asli yang ditanam secara berkelanjutan untuk mendukung pertanian lokal dan mengurangi jejak karbon.

Mereka yang tinggal di perkotaan sering memilih alternatif seperti pohon mini di meja atau dekorasi yang ditempel di dinding karena keterbatasan ruang. Apa pun bentuknya, tujuan utamanya tetap sama: menghadirkan rasa hangat, kebersamaan, dan harapan menjelang musim dingin.

Baca Juga: 

Variasi Global dalam Tradisi Pohon Natal

Meski pohon hijau abadi jenis konifer mendominasi tradisi di dunia Barat, berbagai negara di dunia menyesuaikan konsep pohon Natal dengan flora dan kebiasaan lokal mereka. Di Jepang, misalnya, Natal lebih bersifat komersial daripada religius, sehingga keluarga sering memasang pohon buatan yang dihiasi lampu terang serta ornamen seperti bangau origami atau jimat keberuntungan.

Di Australia, karena bulan Desember jatuh pada musim panas, sebagian orang menggunakan pohon eukaliptus atau jenis pinus lokal sebagai pengganti cemara tradisional.

Di Ukraina, terdapat tradisi rakyat yang unik berupa menghias pohon Natal dengan jaring laba-laba dari pita berkilau, yang berasal dari legenda tentang sebuah keluarga miskin yang pohonnya secara ajaib tertutup tetesan embun oleh laba-laba semalaman.

Sementara, di beberapa wilayah Amerika Latin terutama Meksiko, perhatian sering lebih difokuskan pada adegan kelahiran Yesus (nacimientos) daripada pohon Natal, meskipun di daerah perkotaan kebiasaan memasang pohon Natal semakin populer akibat pengaruh budaya Amerika Serikat.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 25 Dec 2025