Jumat, 17 Maret 2023 10:02 WIB
Penulis:Isman Wahyudi
Editor:Isman Wahyudi
MAKASSARINSIGHT.com, JAKARTA—Amnesty International menyoroti vonis bebas dua perwira polisi dari tuduhan kelalaian pidana dalam Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang. Vonis tersebut dinilai gagal memberi rasa keadilan pada para korban. Selain itu, vonis ringan juga mengirimkan pesan berbahaya bahwa aparat dapat bertindak bebas tanpa konsekuensi hukum.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam pernyataan resmi yang diterima TrenAsia, Jumat 17 Maret 2023. Menurut Usman, pihak berwenang kembali gagal memberikan keadilan kepada para korban meskipun sempat berjanji untuk menuntut pertanggungjawaban dari pihak yang terlibat. “Kasus ini sekali lagi menunjukkan pola kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan mengakar kuat dan luas oleh aparat keamanan di Indonesia,” ujar Usman.
Pada Kamis 16 Maret 2023, Pengadilan Negeri Surabaya membebaskan Kabag Ops Polres Malang dan mantan Kasat Samapta Polres Malang dengan alasan tidak cukup bukti untuk menghukum mereka. Di hari yang sama, mantan Komandan Kompi Brimob 3 Polda Jatim dihukum penjara selama 1,5 tahun setelah dinyatakan bersalah karena kelalaian.
Amnesty International mendesak pemerintah memastikan akuntabilitas seluruh aparat keamanan yang terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan, termasuk mereka yang berada di tataran komando. Menurut Usman, hal itu penting untuk memberikan keadilan bagi korban dan memutus rantai impunitas.
Baca Juga:
Dia menyebut kurangnya akuntabilitas mengirimkan pesan berbahaya bahwa aparat dapat bertindak dengan bebas dan tanpa konsekuensi hukum. “Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah melalui peradilan yang adil, imparsial, terbuka dan independen,” imbuhnya.
Lebih jauh, Amnesty International mendorong Tragedi Kanjuruhan menjadi momen untuk memperbaiki kesalahan dan mengubah haluan. “Bukan malah mengulangi kesalahan yang sama,” ucap Usman. Diketahui, Tragedi Kanjuruhan terjadi usai laga Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2023. Kericuhan bermula setelah sejumlah suporter Arema FC masuk ke lapangan usai timnya kalah 2-3.
Aksi tersebut direspons polisi dengan melepaskan tembakan gas air mata yang dalam aturan dilarang FIFA. Tak hanya diarahkan ke penonton yang turun di lapangan, gas air mata menyasar tribune yang dipadati para penonton. Kekacauan akibat gas air mata membuat penonton berdesakan keluar dari stadion sehingga membuat korban berjatuhan.
Baca Juga:
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Chrisna Chanis Cara pada 17 Mar 2023