Ekonomi & Bisnis
Yuk Tahu, Sistem Nilai Tukar dan Perjalanan Rupiah Lintasi Zaman
MAKASSARINSIGHT.com - Indonesia telah mengimplementasikan tiga sistem nilai tukar yang berbeda sejak zaman kemerdekaan. Tiga sistem nilai tukar ini dipilih sesuai kondisi masing-masing zaman sebagai upaya menstabilkan perekonomian dan sistem moneter pada masa itu.
Setiap sistem ini memiliki karakteristik unik dan memberikan dampak yang beragam terhadap fluktuasi nilai rupiah. Dilansir dari berbagai sumber, berikut tiga sistem nilai tukar yang pernah dipakai Indonesia,
Sistem Nilai Tukar Tetap
Sistem pertama yang diterapkan adalah Sistem Nilai Tukar Tetap, berlangsung dari tahun 1970 hingga 1978.
Baca Juga:
- PKK Makassar Gelar Calacity Building, Dorong Program Kerja Berjalan Efektif
- Mengenal Fundamental vs Sentimen dalam Menilai Saham, Mana yang Lebih Penting?
- In Memoriam Tanri Abeng: Perjalanan Karier Pria Selayar, dari Bisnis hingga Menteri BUMN Pertama RI
Dalam sistem ini, nilai rupiah ditetapkan secara konstan terhadap mata uang asing, umumnya dolar Amerika Serikat.
Bank Indonesia memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan stabilitas nilai tukar melalui intervensi di pasar valuta asing.
Meskipun sistem ini menciptakan stabilitas dan prediktabilitas nilai tukar, sistem ini juga membatasi fleksibilitas dalam menghadapi perubahan ekonomi global dan membatasi ruang gerak Bank Indonesia dalam menerapkan kebijakan moneter.
Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali
Berikutnya adalah Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali, yang diterapkan pada dua periode: 1978-1994 dan 2005 hingga saat ini.
Sistem ini memungkinkan nilai rupiah berfluktuasi di pasar valuta asing, namun dengan pengawasan dan intervensi Bank Indonesia untuk mencegah gejolak berlebihan.
Intervensi dilakukan melalui berbagai instrumen, termasuk transaksi mata uang asing dan operasi moneter terbuka.
Sistem ini menawarkan fleksibilitas yang lebih besar dalam merespons perubahan ekonomi global dan memberikan Bank Indonesia ruang yang lebih luas dalam menerapkan kebijakan moneter.
Namun, sistem ini juga memerlukan pengelolaan yang cermat untuk menghindari volatilitas nilai tukar yang ekstrem.
Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas
Sistem ketiga adalah Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas, yang berlaku dari 1994 hingga 2005.
Dalam sistem ini, nilai rupiah sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar tanpa intervensi Bank Indonesia.
Meskipun sistem ini memberikan fleksibilitas maksimal dan memungkinkan Bank Indonesia fokus pada kebijakan moneter tanpa beban intervensi pasar valuta asing, ia juga memerlukan fundamental ekonomi yang kuat untuk mencegah gejolak nilai tukar yang berlebihan.
Baca Juga:
- Kasus Hasto Makin Panas, Ajudannya Kini Diuber-uber KPK
- Pemkot Makassar Rasionalisasi Anggaran Perubahan, Wali Kota Danny: Pembahasan APBD 2025 Dipercepat
- Atasi Kemacetan, Dishub Awasi Antrean Truk di SPBU
Perjalanan Rupiah Melintasi Zaman
Perjalanan nilai tukar rupiah telah melalui berbagai fase sejak awal kemerdekaan.
Pada tahun 1960an ketika Presiden Soekarno menggenjot alutsista pertahanan nasional dan mendanai proyek mercusuar, ekonomi indonesia carut marut hingga inflasi menyentuh angka 100%.
Berdasarkan data dari Sauder School of Business di University of British Columbia (UBS) ketika itu nilai rupiah berada di sekitar Rp149 per dolar AS.
Rupiah mencapai titik terkuatnya pada tahun 1991 di level Rp1.997 per dolar AS.
Namun, krisis moneter 1997-1998 menyebabkan kejatuhan rupiah, mencapai rekor terendah Rp16.800 per dolar AS pada bulan Juni 1998.
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie, nilai tukar rupiah berhasil ditekan drastis menjadi Rp6.500 per dolar AS.
Pada saat terjadi saat krisis keuangan global 2008, Rupiah terdepresiasi tajam dari sekitar Rp9.000 per Dolar AS menjadi lebih dari Rp12.000 per Dolar AS.
Setelah krisis mereda, Rupiah berhasil menguat kembali. Bahkan pada tahun 2011, Rupiah mencapai posisi terkuatnya dalam beberapa tahun terakhir, mendekati level Rp8.000 per Dolar AS.
Namun, ketenangan ini tidak bertahan lama, pada tahun 2013, fenomena “taper tantrum” yang dipicu oleh pengumuman Federal Reserve AS untuk mengurangi pembelian obligasi memicu gelombang kekhawatiran di pasar negara berkembang.
Akibatnya, rupiah kembali mengalami tren pelemahan yang berlangsung hingga tahun 2015, dimana nilainya hampir menyentuh Rp15.000 per Dolar AS.
Sejak periode tersebut, rupiah tidak pernah lagi kembali ke level di bawah Rp10.000 per Dolar AS.
Mata uang ini terus menghadapi tantangan, termasuk guncangan besar saat awal pandemi COVID-19 pada Maret 2020, yang menyebabkan kekhawatiran global di pasar keuangan.
Hari ini, Rupiah terdepresiasi hingga mencapai level Rp16.400 per Dolar AS, sebuah angka yang nyaris memecahkan rekor pelemahan sepanjang sejarah.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 25 Jun 2024