Wajah Suram Peradilan, Ini Sederet Hakim yang Terjerat Kasus Suap

Palu hakim (INT)

MAKASSARINSIGHT.com - Kredibilitas peradilan Indonesia kembali tercoreng karena kasus suap impor Crude Palm Oil (CPO) yang melibatkan hakim. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah hakim dari berbagai tingkatan, termasuk hakim agung, terjerat kasus suap dan gratifikasi dalam penanganan perkara. 

Dari Mahkamah Agung hingga pengadilan negeri, praktik jual beli perkara terbukti nyata. Uang dalam jumlah fantastis, emas batangan, hingga skema makelar kasus terkuak dalam proses hukum yang mencoreng lembaga peradilan tertinggi di Tanah Air.

Dirangkum TrenAsia dari berbagai sumber, Selasa, 15 April 2025, berikut deretan kasus suap yang menyeret para penegak keadilan.

Baca Juga: 

Agam Syarif Baharuddin - Skandal Korupsi CPO

Nama Agam Syarif Baharuddin mendadak menjadi sorotan publik setelah ia ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus dugaan suap terkait vonis lepas tiga korporasi besar dalam perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah.

Agam merupakan satu dari tiga hakim yang diduga terlibat dalam skandal hukum tersebut. Vonis lepas yang dijatuhkan terhadap tiga perusahaan besar itu menimbulkan kejanggalan karena bertolak belakang dengan tuntutan jaksa yang nilainya mencapai triliunan rupiah.

Keputusan untuk membebaskan ketiga korporasi besar tersebut dari tuntutan jaksa memicu polemik luas. Jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut ganti rugi dalam jumlah fantastis: Rp937 miliar kepada Permata Hijau Group, Rp11,8 triliun kepada Wilmar Group, dan Rp4,8 triliun kepada Musim Mas Group. Namun, majelis hakim yang dipimpin oleh Agam justru menjatuhkan vonis lepas, yang kemudian diduga sebagai hasil dari praktik suap.

Dalam proses penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung, terungkap bahwa vonis tersebut tidak lepas dari intervensi dan skenario yang telah dirancang oleh sejumlah pihak. 

Selain Agam, dua hakim lain yang ikut menetapkan vonis lepas adalah Ali Muhtaro dan Djuyamto. Ketiganya diduga bersekongkol dengan beberapa pihak lain, termasuk Ketua PN Jakarta Selatan saat itu, Muhammad Arif Nuryanta; pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto; serta Wahyu Gunawan yang menjabat sebagai panitera muda di PN Jakarta Utara.

Marcella dan Ariyanto diketahui merupakan kuasa hukum dari ketiga korporasi yang menjadi terdakwa dalam kasus minyak goreng tersebut. Melalui koneksi dan pengaruh mereka, keputusan pengadilan diduga telah direkayasa agar ketiga perusahaan tersebut dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

Zarof Ricar

Zarof Ricar – Makelar Kasus Bernilai Hampir Rp1 Triliun

Nama Zarof Ricar, mantan Kepala Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung, mencuat usai ditangkap Kejaksaan Agung di Bali pada 24 Oktober 2024. Ia bukan hanya pejabat struktural, tapi disebut-sebut berperan sebagai makelar perkara di level kasasi.

Zarof diduga menjadi perantara dalam kasus penganiayaan Ronald Tannur. Bersama pengacara Lisa Rahmat, ia membantu menyiapkan dana suap sebesar Rp5 miliar yang ditujukan kepada tiga hakim agung. Zarof sendiri disebut menerima fee Rp1 miliar.

Fakta mencengangkan terkuak saat penyidik menyita barang bukti hampir Rp1 triliun dalam bentuk mata uang asing dan 51 kilogram emas batangan. Meski belum ada hakim agung yang resmi dipanggil, Kejaksaan Agung (Kejagung) masih terus menelusuri aliran dana kasus tersebut.

Sudrajad Dimyati – Hakim Agung Tersandung Kasasi KSP Intidana

Pada September 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap hakim agung nonaktif Sudrajad Dimyati dalam operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus kasasi pailit Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.

Modusnya adalah aliran suap sebesar SGD 202.000 atau sekitar Rp2,2 miliar yang disalurkan lewat panitera MA dan dibagi ke beberapa pihak. Sudrajad disebut menerima Rp800 juta dari total uang tersebut.

Dalam proses hukum yang dijalani, jaksa menuntut Sudrajad 13 tahun penjara. Namun, majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung menjatuhkan vonis 8 tahun penjara, yang kemudian dipangkas menjadi 7 tahun pada tingkat banding dengan mempertimbangkan pengabdian Sudrajad selama 38 tahun di MA dan rekam jejak hukum yang bersih.

Baca Juga: 

Gazalba Saleh – Gratifikasi, Pencucian Uang, dan Gaya Hidup Mewah

Hakim agung Gazalba Saleh menjadi sorotan publik usai terbukti menerima gratifikasi Rp650 juta dalam perkara kasasi UD Logam Jaya. Tak hanya itu, ia juga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai total Rp62,89 miliar.

Uang hasil gratifikasi digunakan untuk membeli mobil mewah, tanah dan bangunan, membayar cicilan KPR, serta menukarkannya ke dalam bentuk valas.

Putusan pengadilan menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta, lebih ringan dari tuntutan jaksa yang mencapai 15 tahun dan denda Rp1 miliar. 

Gazalba dinilai tak menunjukkan penyesalan, bahkan tidak mengakui perbuatannya, meski ia mendapat keringanan karena belum pernah dihukum dan bersikap sopan di persidangan.

Ali Muhtarom – Suap Rp60 Miliar untuk Vonis Lepas

Hakim Ali Muhtarom, yang sebelumnya menangani perkara impor gula dengan terdakwa Tom Lembong, tersandung dugaan gratifikasi dalam perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO).

Vonis lepas atau onslag yang ia jatuhkan diduga berkaitan langsung dengan aliran suap yang mencapai Rp60 miliar. Temuan ini membuat Mahkamah Agung mencopot Ali dari perkara Tom Lembong, menggantinya dengan hakim Alfis Setyawan.

Kasus ini menyeret lebih banyak nama, termasuk Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanto, dua pengacara, panitera, dan dua hakim lain.

Dede Suryaman – Suap untuk Ringankan Vonis Korupsi Infrastruktur

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Dede Suryaman, terbukti menerima suap Rp300 juta dalam perkara korupsi proyek jembatan Brawijaya, Kediri. Uang itu ia terima setelah dihubungi pengacara Yuda yang memiliki bukti pertemuan salah satu hakim ad hoc dengan keluarga terdakwa.

Merasa tertekan dan takut aib tersebut terungkap, Dede akhirnya ikut menerima suap dan membaginya bersama dua hakim lain, Kusdarwanto dan Emma Ellyani. Ketiganya mendapat jatah masing-masing Rp100 juta, sementara Dede juga memberikan Rp30 juta ke panitera pengganti Hamdan. Di persidangan, Dede mengaku menyesal dan menyadari perbuatannya mencederai keadilan.

Rudi Suparmono – Mantan Ketua PN yang "Pilih Hakim" Lewat Amplop

Mantan Ketua PN Surabaya, Rudi Suparmono, menjadi tersangka dalam kasus suap vonis bebas Ronald Tannur. Ia ditangkap Kejagung pada 14 Januari 2025 di Palembang dan langsung ditahan di Jakarta.

Rudi diduga menerima suap senilai SGD 20.000 atau sekitar Rp238 juta dari pengacara Ronald. Tujuannya jelas, mengatur susunan majelis hakim yang menangani perkara.

Saat penyidik menggeledah rumahnya, ditemukan amplop bertuliskan “Diambil 43.000 dolar Singapura kepada Pak RS PN Surabaya, milih hakim.” Uang tersebut disebut dibagi kepada tiga hakim lainnya: Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, yang kini juga menjadi tersangka.

Ironisnya, Rudi sempat dilantik menjadi Ketua PN Jakarta Pusat pada bulan April 2024, dan menyerukan integritas dalam pidatonya. Namun pada bulan Desember 2024, ia dipindah ke Pengadilan Tinggi Palembang sebelum akhirnya terjerat kasus.

Rangkaian kasus ini memperlihatkan bahwa praktik korupsi di dunia peradilan bukan lagi hal yang tersembunyi. Dari hakim agung hingga pejabat pengadilan negeri, banyak yang terseret karena tergiur uang dan kekuasaan.

Kasus-kasus ini menjadi peringatan bahwa reformasi peradilan tidak cukup hanya bersandar pada etika, tapi harus dibarengi sistem pengawasan yang kuat, independen, dan transparan. 

Jika tidak, maka keadilan hanya akan menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan oleh mereka yang seharusnya menegakkannya.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 15 Apr 2025 

Editor: Isman Wahyudi
Bagikan
Isman Wahyudi

Isman Wahyudi

Lihat semua artikel

Related Stories