Ritual Pemilihan Paus Konklaf Apakah Bernuansa Politis?

Sekelompok kardinal berkumpul di Vatikan pada tahun 2022. (Corbis/Corbis melalui Getty)

VATIKAN - Suara lonceng berdentang lembut di langit Roma, mengiringi duka umat Katolik atas wafatnya Paus Fransiskus. Di balik dinding-dinding batu Kapel Sistina yang megah, sejarah sedang bersiap ditulis ulang. 

Takhta Suci kosong, publik Dunia kini menanti sosok baru yang akan duduk di kursi Santo Petrus. Jawabannya akan lahir dari ritual paling misterius Gereja Katolik, konklaf.

Namun, di antara doa, dupa, dan janji suci, tak sedikit yang bertanya, apakah konklaf benar-benar murni urusan spiritual? Ataukah ia juga panggung sunyi politik gerejawi?

Baca Juga: 

Tradisi Tertutup Berabad-abad

Konklaf bukan sekadar pemungutan suara. Ritual tersebut adalah prosesi suci yang digelar dengan penuh simbolisme dan kerahasiaan. Para kardinal, hanya mereka yang berusia di bawah 80 tahun akan dikunci di dalam Kapel Sistina, jauh dari dunia luar, tanpa ponsel, tanpa kontak, hanya bersama suara hati dan bisikan Roh Kudus.

Mereka akan memilih pemimpin baru bagi 1,3 miliar umat Katolik sedunia, lewat pemungutan suara yang bisa berlangsung berhari-hari. Setiap sore, dunia menatap cerobong asap, hitam berarti belum ada hasil, putih menandakan dunia telah memiliki Paus baru.

Namun proses ini tidak berjalan dalam kevakuman. Dalam senyap, ada strategi, ada kalkulasi, ada diplomasi.

Di ruang sunyi konklaf, para kardinal bukanlah sosok netral. Mereka membawa sejarah, budaya, dan pandangan dari keuskupan masing-masing. Kardinal dari Amerika Latin mungkin membawa semangat perubahan. 

Kardinal dari Eropa kerap ingin menjaga tradisi. Kardinal dari Afrika dan Asia hadir dengan suara global selatan yang semakin kuat.

Seperti politik, mereka berbicara, berdebat dalam diam, menyusun dukungan dalam isyarat. Istilah papabile, kandidat yang layak menjadi Paus muncul dari bisik-bisik itu. 

Beberapa nama menjadi pusat perhatian, meski tak satu pun berani mendeklarasikan diri. Dalam konklaf, ambisi hanya bisa dibungkus dalam kesederhanaan.

Baca Juga: 

Ketika Skandal Membayangi

Isu konklaf kali ini juga diwarnai kontroversi. Kardinal Giovanni Angelo Becciu, yang divonis atas skandal keuangan di Vatikan, menyatakan dirinya tetap berhak ikut memilih. 

Sebelumnya Angelo memiliki Jabatan “sostituto” di Sekretariat Negara Vatikan. Ia memegang peranan krusial, sebanding dengan posisi kepala staf pribadi Paus.

Usianya 76 tahun, masih dalam batas. Menurutnya, tak ada larangan resmi untuk mundur dari konklaf. Becciu masih tinggal di Vatikan, mengajukan banding atas vonisnya, sembari menyatakan dirinya tak bersalah.

“Saya juga tidak pernah diminta secara tertulis untuk mengundurkan diri,” ujar Angelo kepada Publik dilansir media Prancis, AFP, Kamis, 24 April 2025.

Kehadirannya menambah kompleksitas konklaf kali ini. Apakah suara kardinal yang tercela masih bisa sah menentukan pemimpin suci? Di sinilah Gereja ditantang untuk menyeimbangkan nilai rohani dengan transparansi moral.

Banyak yang ingin percaya konklaf sepenuhnya dipandu oleh doa. Tapi sejarah mencatat, Gereja juga adalah lembaga manusia. Dan di dalamnya, seperti dalam semua institusi besar, ada perebutan pengaruh, visi, dan arah masa depan.

Konklaf tak ubahnya lembar kitab yang ditulis ulang tiap generasi. Di dalamnya, doa dan strategi berdampingan. Roh Kudus mungkin membimbing, tetapi para kardinal tetap manusia, penuh pertimbangan, harapan, dan mungkin, kepentingan.

Dan ketika akhirnya asap putih mengepul di langit Vatikan, dunia tahu satu hal pasti, seorang pria telah terpilih, bukan hanya oleh suara manusia, tapi juga oleh sejarah, dan mungkin oleh sesuatu yang lebih besar dari itu.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 25 Apr 2025 

Editor: Isman Wahyudi
Bagikan
Isman Wahyudi

Isman Wahyudi

Lihat semua artikel

Related Stories