Ekonomi & Bisnis
Pemberian Upah Murah Dinilai Bukan Solusi untuk Hindari PHK
MAKASSARINSIGHT.com, JAKARTA - Kementerian Ketenagakerjaan baru-baru ini melaporkan bahwa sebanyak 46.240 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang periode Januari hingga Agustus 2024.
Sekretaris Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jateng Aulia Hakim data tersebut menunjukkan bahwa PHK paling banyak terjadi di Jawa Tengah, yang selama ini dikenal sebagai wilayah dengan upah rendah.
PHK massal di Jawa Tengah membuktikan bahwa kebijakan upah murah adalah solusi yang keliru. Meskipun upah di provinsi ini lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain, ternyata tidak ada jaminan bahwa pekerja di sini akan terlindungi dari gelombang PHK.
Baca Juga:
- Fakta Menarik Kedatangan Paus, Pilih Naik Innova hingga Disambut Muhammadiyah
- Pilkada Serentak 2024, Elektabilitas dan Popularitas Jadi Senjata Politik
- Dilema Dukung Anies, Mengulik Pragmatisme Politik PKS
"Kami dari KSPI Jawa Tengah menanggapi hal bahwa fakta ini sekaligus mematahkan mitos bahwa upah murah adalah solusi untuk mengatasi PHK. Sebaliknya, di Jawa Tengah, yang dikenal dengan tingkat upah rendah, justru angka PHK tertinggi tercatat, terutama di sektor manufaktur, tekstil, dan industri pengolahan," katanya dalam keterangan resmi pada Rabu, 4 September 2024.
Menurutnya selama bertahun-tahun, pemerintah dan pengusaha mempromosikan kebijakan upah murah sebagai strategi untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja. Jawa Tengah sering dijadikan contoh sukses dari kebijakan ini, dengan argumen bahwa upah rendah akan meningkatkan daya saing dan menjaga keberlangsungan operasional perusahaan.
Namun, data terbaru menunjukkan bahwa strategi ini tidak hanya gagal melindungi pekerja dari ancaman PHK, tetapi juga tidak mampu memberikan kepastian kerja.
KSPI menilai kegagalan kebijakan upah murah ini semakin diperparah oleh dampak negatif dari UU Cipta Kerja. Undang-undang ini, yang disahkan dengan dalih meningkatkan fleksibilitas pasar kerja dan menarik investasi, justru mempermudah pengusaha untuk melakukan PHK.
UU Cipta Kerja tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja, dan dalam kasus PHK massal ini, undang-undang tersebut justru berperan sebagai alat yang memfasilitasi praktik-praktik yang merugikan pekerja.
Dalam konteks Jawa Tengah, di mana upah sudah rendah, penerapan UU Cipta Kerja semakin memperburuk keadaan. Alih-alih memberikan perlindungan, UU ini justru memberikan keleluasaan lebih besar kepada pengusaha untuk melakukan PHK secara massal. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap para pekerja yang selama ini telah berjuang untuk memperoleh upah yang layak dan perlindungan kerja yang adil.
Cara Mitigasi
Hakim menegaskan bahwa pernyataan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, yang mengatakan bahwa pemerintah terus melakukan mitigasi untuk mencegah PHK, terdengar kosong dan tidak menyentuh akar permasalahan. Upaya mitigasi seperti mempertemukan manajemen dan pekerja hanyalah langkah kosmetik yang tidak akan menyelesaikan masalah secara fundamental. Selama UU Cipta Kerja tetap berlaku dan kebijakan upah murah masih dianggap sebagai solusi, angka PHK akan terus meningkat, dan kesejahteraan pekerja akan terus terancam.
Baca Juga:
- Deklarasi Pilkada Damai 2024, Wali Kota Makassar: Siap Kolaborasi Menjaga Ketertiban
- TRC Perumda Parkir Makassar Tegur Jukir Somba Opu, Ini Alasannya
- Andalan Hati Deklarasi Maju Pilgub Sulsel 2024, Berharap Teruskan Pembangunan
KSPI menyebut, Pemerintah seharusnya mengakui bahwa kebijakan mereka telah gagal. Untuk itu, tidak ada jalan lain selain mencabut UU Cipta Kerja dan meninggalkan paradigma upah murah yang sudah terbukti tidak efektif.
Jika pemerintah serius dalam melindungi pekerja, mereka harus mengambil langkah nyata dengan memberlakukan kebijakan yang benar-benar berpihak pada pekerja, termasuk memastikan upah layak dan perlindungan kerja yang kuat.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 04 Sep 2024