Memahami Apa Itu Parliamentary Threshold di Indonesia

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Kamis (29/02) di Ruang Sidang MK. (mkri.id/Foto Humas/Ifa.)

MAKASSARINSIGHT.com, JAKARTA - Istilah Parliamentary threshold (PT) banyak disebut dalam beberapa hari terakhir. Ini  Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis 29 Februari 2024 memutuskan ambang batas PT sebesar empat persen harus diubah sebelum pemilu 2029 berlangsung. Lantas apa sebenarnya parliamentary threshold  itu?

Parliamentary threshold  adalah syarat minimum dalam hal persentase suara yang diperoleh dari total suara sah untuk menjadi kualifikasi dalam pembagian kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sederhananya, PT dapat dianggap sebagai batas minimum yang harus dipenuhi agar dapat masuk ke parlemen. Karenanya, seringkali PT juga disebut sebagai ambang batas parlemen.

Aturan ini diterapkan sebagai upaya untuk menyederhanakan partai politik, menggantikan aturan ambang batas pemilu (electoral threshold) yang dianggap kurang efektif. Berbeda dengan electoral threshold (ET) yang mengacu pada perolehan kursi, PT diukur berdasarkan jumlah suara sah nasional yang diperoleh partai.

Baca Juga: 

PT mulai diberlakukan sejak Pemilu 2009, dengan nilai ambang batas yang bervariasi dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Pada Pemilu 2009, ambang batas parlemen ditetapkan 2,5%. Nilai tersebut kemudian meningkat menjadi 3,5% pada Pemilu 2014, dan mencapai 4% pada Pemilu 2019. Peningkatan nilai ambang batas ini diharapkan dapat mempersempit jumlah partai yang memasuki Senayan.

PT dalam sistem pemilu Indonesia, diatur dengan jelas dalam Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Pasal tersebut berbunyi:

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.”

Dalam implementasinya, ambang batas parlemen dinilai gagal mencapai tujuannya, yaitu untuk mengurangi jumlah partai di parlemen.

Menurut pemerintah, alasan utama di balik upaya penyederhanaan partai politik adalah untuk menjaga demokrasi dari dampak negatif, seperti kebebasan politik yang tidak mendukung terwujudnya konsep pemerintahan oleh dan untuk rakyat, di mana rakyat dianggap sebagai penerima manfaat utama dari pemerintahan.

Penyederhanaan jumlah partai politik dengan penerapan ambang batas parlemen tidak bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia terutama hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat.

Partai politik merupakan salah satu sistem yang menjadi alat pendukung demokrasi. Oleh sebab itu, banyak sedikitnya jumlah partai politik tidak dapat dijadikan tumpuan sebagai satu-satunya ukuran untuk menilai demokratis atau tidaknya sebuah negara.

Pada Pemilu 2009, terdapat 9 partai politik yang lolos ET, pada Pemilu 2014 jumlahnya menjadi 10, dan pada Pemilu 2019 kembali menjadi 9. Namun, peningkatan ambang batas parlemen pada setiap pemilu tidak sejalan dengan penurunan jumlah partai yang mendapatkan kursi di parlemen.

Kurangnya Transparansi

Di samping itu, penetapan nilai ambang batas PT seringkali dimohon untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini disebabkan kurangnya transparansi dalam proses penetapan nilai ambang batas parlemen. Biasanya, nilai ambang batas parlemen ditentukan melalui kesepakatan politik yang dijadikan bagian dari Undang-Undang.

Selain itu, semakin tinggi nilai ambang batas yang ditetapkan, semakin besar kemungkinan suara rakyat terbuang dalam pemilu. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak sipil dan politik warga negara yang diwujudkan dalam proses pemilu.

Pada Pemilu 2009, ambang batas parlemen diberlakukan untuk pertama kalinya, diikuti oleh 38 parpol. Syaratnya adalah memperoleh minimal 2,5% suara sah nasional untuk dapat berpartisipasi dalam penentuan kursi DPR. Ambang batas ini hanya berlaku untuk kursi DPR, jadi tidak berlaku untuk penentuan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota (Pasal 202 Ayat 2 UU 10/2008).

Baca Juga: 

Sementara, Pemilu 2014 yang berlangsung pada 9 April, dengan 12 parpol turut serta. Ambang batas parlemen pemilu ini ditingkatkan menjadi 3,5%.

Selain itu, dalam dasar aturan pelaksanaan Pemilu 2014 (UU 8/2012), hasil PT dari Pemilu 2009 sebagai kriteria untuk ikut serta dalam pemilu. Artinya, ambang batas parlemen diperlakukan layaknya ambang batas pemilu (electoral threshold).

Pasal 8 ayat 1 UU 8/2012 menyebutkan, “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.”

Konsekuensinya, hanya sembilan parpol yang lolos PT Pemilu 2009 yang otomatis menjadi peserta Pemilu 2014. Sedangkan, parpol yang tidak memenuhi ambang batas parlemen pada Pemilu 2009 harus kembali diverifikasi sesuai aturan peserta pemilu 2014 (Pasal 8 Ayat 2 UU 8/2012). Keharusan verifikasi ini juga berlaku untuk partai baru yang akan mengikuti Pemilu 2014.

Pemilu 2019 berbarengan dengan Pemilu Presiden 2019. Pemilu ini diikuti 16 parpol. Dengan aturan ambang batas parlemen yang dinaikkan menjadi 4%, hanya 9 parpol lolos ke parlemen.

Ambang batas parlemen bertujuan untuk mendorong peningkatan fungsi-fungsi partai politik. Hal ini bertujuan agar partai politik dapat mengimplementasikan fungsi-fungsinya secara optimal, dengan tujuan meningkatkan kualitasnya.

Peningkatan kualitas partai politik diharapkan akan mendapatkan dukungan dan suara dari masyarakat. Partai politik yang berkualitas diharapkan akan menghasilkan anggota parlemen yang berintegritas dan kompeten. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan oleh parlemen diharapkan akan mencerminkan aspirasi rakyat dan berkontribusi pada kesejahteraan mereka.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 01 Mar 2024 

Editor: Isman Wahyudi
Bagikan
Isman Wahyudi

Isman Wahyudi

Lihat semua artikel

Related Stories