INSIGHT: Mengukur Korelasi Kenaikan Gaji Hakim dan Kualitas Penegakan Hukum

Ilustrasi pengadilan (Freepik/Racool_studio) (Freepik/Racool_studio)

MAKASSARINSIGHT.com — Pada 18 Oktober 2024, Joko Widodo (Jokowi) yang masih menjadi Presiden RI menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024 mengenai Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung. 

PP tersebut merubah PP Nomor 94 Tahun 2012, dengan perubahan tersebut, besaran upah hakim dinaikan setelah 12 tahun lebih tidak mendapatkan penyesuaian. Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih yang melanjutkan estafet kekuasaan, sebelumnya sempat mengangkat isu ini dalam debat Pilpres 2024.

Dia mengatakan pemerintah perlu menjamin kehidupan hakim. Prabowo melihat kualitas hukum akan sangat ditentukan oleh hakim, sehingga kelayakan hidup mereka harus dijamin agar hakim tidak bisa disogok. 

Baca Juga: 

Peningkatan gaji dan kesejahteraan hakim merupakan salah satu upaya yang dianggap penting dalam memperkuat sistem peradilan di Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir, upaya peningkatan kesejahteraan hakim terus diupayakan pemerintah dan Komisi Yudisial.

Hal itu dengan harapan agar dapat mengikis perilaku korup di kalangan hakim dan memperkuat penegakan hukum di negeri ini. Namun, realitas menunjukkan bahwa hanya dengan meningkatkan gaji dan tunjangan saja belum cukup untuk memastikan integritas para hakim.

Perlu Keberanian Moral

Menurut riset dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan, meskipun tunjangan hakim telah ditingkatkan, perilaku korup para hakim yang bermental serakah masih sulit untuk dihilangkan​. 

Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan material bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mendorong integritas seorang hakim. Keberanian moral, etika, dan rasa tanggung jawab terhadap profesi juga menjadi faktor penting dalam mewujudkan sistem peradilan yang kuat.

Sebagai penjaga keadilan, hakim memiliki peran sentral dalam sistem hukum. Mereka bertanggung jawab dalam memutuskan perkara, menentukan nasib seseorang, dan bahkan mencabut hak hidup dalam kasus-kasus tertentu. 

Oleh karena itu, perilaku hakim yang tidak berintegritas dapat mengakibatkan kerusakan besar dalam sistem peradilan dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. 

Dalam jurnal yang sama disebutkan bahwa peran Komisi Yudisial yang bertugas mengawasi dan menjaga kehormatan hakim menjadi krusial​. Gaji yang layak memang penting untuk memberikan kehidupan yang baik bagi hakim. Namun itu bukan satu-satunya solusi untuk memperbaiki integritas. 

Baca Juga: 

Dalam banyak kasus, hakim yang sudah mendapat gaji yang layak masih terlibat dalam praktik korupsi. Seperti diuraikan dalam jurnal tersebut, tindakan korupsi di lingkungan peradilan, yang sering disebut "mafia peradilan," menunjukkan betapa masalah ini sudah mengakar dan sistemik.

Integritas moral hakim harus dibarengi dengan penegakan kode etik dan pengawasan yang ketat. Penegakan hukum tanpa integritas hakim hanya akan menghasilkan keputusan yang penuh kompromi dan memihak kepada kekuasaan atau uang. 

Oleh karena itu, selain meningkatkan gaji, perlu ada reformasi total dalam pengawasan dan penegakan kode etik untuk memastikan bahwa hakim yang bertugas adalah mereka yang memiliki integritas yang tinggi.

Dalam konteks ini, Komisi Yudisial diharapkan dapat menjalankan fungsinya lebih optimal, tidak hanya sebagai pengawas formal, tetapi juga sebagai pelindung moralitas peradilan. Pengawasan yang lebih intensif dan partisipasi masyarakat dalam menjaga integritas lembaga peradilan harus ditingkatkan.

Paket kebijakan reformasi hukum yang komprehensif adalah syarat mutlak untuk menyelamatkan penegakan hukum di Indonesia. Jika tidak, sistem hukum kita akan terus terseok-seok di bawah bayang-bayang mafia peradilan yang merusak​. (***)

Editor: Isman Wahyudi
Isman Wahyudi

Isman Wahyudi

Lihat semua artikel

Related Stories