In Memoriam Faisal Basri, Ini Beberapa Kritik Tajam Terhadap Pemerintah

Faisal Basri saat melakukan wawancara langsung dengan wartawan seusai agenda FGD, Kamis, 12 Maret (Foto: TrenAsia.com)

MAKASSARINSIGHT.com – Ekonom senior Faisal Basri Batubara meninggal dunia pada Kamis, 5 September 2024. Pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) itu menghembuskan nafas terakhir di RS Mayapada.

Sepanjang hidupnya, ia dikenal sebagai seorang ekonom yang kritis. Faisal kerap memberikan kritik tajam terhadap pemerintah. Berikut adalah beberapa kritik tajamnya:

Kritisi Kebijakan Ekspor Benih Lobster

Di sektor perikanan dan kelautan, Faisal Basri pernah mengkritik kebijakan ekspor benih lobster. Pada masa kepemimpinan Susi Pudjiastuti, perdagangan lobster di bawah ukuran 200 gram atau yang masih berupa benih dilarang. Selain itu, Susi juga meminta lobster bertelur tidak dijual-belikan keluar Indonesia. Beleid yang menaunginya adalah Peraturan Menteri Nomor 56 Tahun 2016 tentang Penangkapan Lobster.

Baca Juga: 

Setelah Susi Pudjiastuti tidak lagi menjabat, pemerintah mulai mewacanakan pembukaan kembali ekspor benih lobster.

Faisal pernah menyatakan, pembukaan kembali ekspor bayi atau benih lobster dapat berdampak negatif, baik pada iklim daang maupun lingkungan. Ia berpendapat, kebijakan tersebut akan memberikan kesempatan bagi mafia untuk beraksi.

Jika ekspor benih lobster diizinkan, Faisal Basri memperkirakan mafia akan muncul untuk memanfaatkan situasi demi keuntungan besar, mengingat harga beli benih lobster saat ini mencapai 5.000 yen per ekor.

Selain itu, ia khawatir bahwa ekspor benih lobster dapat menyebabkan eksploitasi yang meluas terhadap lingkungan. “Telur-telur lobster itu rusak. Dia enggak peduli laut kita rusak lagi,” ucapnya.

Soroti Utang RI

Faisal Basri secara konsisten menyoroti masalah utang sejak pertengahan masa kepemimpinan Jokowi. Bahkan, ia terus membahas utang pemerintah dalam sebuah podcast INDEF pada 27 Agustus 2024.

Dalam podcast tersebut, Faisal mengungkapkan utang Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo telah meningkat 3,3 kali lipat sejak akhir 2014.

“3,3 kali lipat itu terdahsyat setelah krisis,” tegasnya.

Faisal juga mempertanyakan upaya Presiden Jokowi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% yang tidak terwujud. Meskipun upaya tersebut telah didorong dengan utang dan pembangunan besar-besaran, hasilnya tetap berada di angka 5%.

“Jadi betul ada yang salah. Utang ini kemana dan utang Jokowi ini digadang-gadang kalau tidak ada utang tidak ada pembangunan infrastruktur,” ujarnya.

Faisal membantah klaim tersebut dan menyatakan, belanja terbesar dalam APBN selama 10 tahun terakhir adalah untuk membayar bunga utang. Bahkan, tahun depan, pembayaran bunga utang diperkirakan akan mencapai sekitar Rp500 triliun, memecahkan rekor dan melebihi pos pengeluaran lainnya, seperti belanja pegawai dan belanja modal.

“Jadi tidak benar utang untuk infrastruktur, terbukti dari primary balance itu primary balance pendapatan negara dikurangi belanja dikurangi bayar bunga, kalau di era Jokowi primary balance hanya sekali positif di 2023, selebihnya minus, tekor, artinya buat bayar bunga pun pemerintah harus berutang,” tegasnya.

Faisal mengingatkan presiden yang akan datang untuk berhati-hati. Jika presiden baru kembali melakukan pembangunan besar-besaran tanpa kontrol, Indonesia bisa menghadapi masalah utang yang semakin berat.

“Kalau Pak Prabowo bilang saya akan melanjutkan program Jokowi, insyaallah 2029 kita akan krisis,” tegasnya.

Soroti Kenaikan Pajak jadi 12% 

Dalam diskusi Indef yang berjudul Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa, Faisal mengkritik rencana pemerintah untuk meningkatkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.

Menurut Faisal Basri, kebijakan tersebut akan merugikan masyarakat kecil. Ia memperkirakan bahwa tambahan pendapatan negara dari kenaikan tarif ini tidak akan mencapai Rp 100 triliun. Sebagai alternatif, Faisal Basri menyarankan agar pemerintah menerapkan pajak ekspor batu bara untuk meningkatkan pendapatan negara, daripada menaikkan PPN.

“Coba bayangkan tambahan pendapatan dari menaikkan dari 11 ke 12% itu enggak sampai Rp100 triliun. Padahal kalau kita terapkan pajak ekspor untuk batu bara itu bisa dapat Rp200 triliun,” ucap dia, Selasa, 20 Agustus 2024.

Banyak Kartu yang Diberikan Pemerintah

Faisal Basri mempertanyakan banyaknya kartu yang diberikan kepada masyarakat selama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ia mengungkapkan pandangannya saat berdiskusi dengan mantan Ketua KPK Abraham Samad di channel YouTube Abraham Samad Speak Up.

Faisal Basri mengatakan, tidak ada negara lain yang menerapkan kebijakan serupa dengan Indonesia. Ia juga membahas tentang Kartu Sehat yang dimilikinya sebagai bagian dari kritiknya.

Faisal Basri kemudian mengungkapkan soal Kartu Sehat yang dimilikinya. “Sebetulnya itu kartu BPJS Kesehatan saja. Namun diklaim sebagai karya Jokowi. Itu undang-undang, kewajiban kita BPJS Kesehatan kan, tapi di era Jokowi dibilang Kartu Sehat, seolah-olah baru,” ucapnya.

Ekspor Ingot, Timah Setengah Jadi

Dalam diskusi publik yang diunggah di kanal YouTube ASANESIA TV dengan judul ‘LIVE | Diskusi Publik Seri 1: Indonesia dan Ancaman Krisis Ekonomi Global,’ Faisal Basri mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo mengenai ekspor bijih nikel.

Faisal Basri menilai, Jokowi menyamakan bijih nikel dengan bijih timah. Ia menjelaskan, ekspor bijih timah telah dilarang di Indonesia sejak lama, namun Jokowi kini berencana untuk melarang ekspor ingot, yaitu batang timah yang sudah diolah hingga 70%.

Konglomerasi Telah Menjadi Oligarki

Dalam diskusi virtual yang diadakan oleh Core Indonesia, Selasa, 16 Mei 2023, Faisal Basri membahas perkembangan perekonomian Indonesia setelah 25 tahun reformasi. Ia mengungkapkan bahwa konglomerasi yang ada sebelum reformasi kini telah berubah menjadi bentuk oligarki.

“Waktu itu konglomerat tidak menguasai sumber daya alam seperti sekarang. Sumber daya alam itu dikuasai oleh negara, tidak seperti saat ini,” kata Faisal Basri dalam diskusi virtual yang digelar Core Indonesia pada Selasa, 16 Mei 2023.

Tahun lalu, Faisal mencatat nilai ekspor batu bara mencapai Rp850 triliun. Namun, pemerintah tidak memperoleh keuntungan dari ekspor tersebut karena tidak ada pajak ekspor yang dikenakan, sehingga tidak ada windfall profit yang diterima.

Situasi ini membuka celah untuk korupsi yang lebih luas. Menurut Faisal Basri, pengusaha dapat dengan mudah menyetor uang, misalnya Rp100 triliun, kepada partai politik untuk mendukung Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

“Jadi begitu dikasih Rp 100 triliun untuk Pilpres 2024 selesai, dialah yang menentukan calon presidennya,” tutur Faisal Basri. Dengan demikian, siapapun pemimpin Indonesia akan tunduk pada pihak oligarki.

Kritik Kebijakan Membuka Pintu untuk Tenaga Kerja Asing

Faisal Basri juga mengkritik pemerintah yang terus membiarkan pintu masuk untuk tenaga kerja asing (TKA) terbuka lebar. “Di tengah pandemi, kita masih sangat menerima pekerja dari China,” ujarnya dalam diskusi Indef.

Faisal merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan jumlah pengunjung asing yang masuk melalui Bandara Sam Ratulangi di Manado jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengunjung yang lewat Bandara Ngurah Rai di Badung, yang jumlahnya jauh lebih sedikit.

“Kita biarkan ini? Pemerintah China bereaksi kemarin. Dia bilang ya dibolehkan sama pemerintah Indonesia gitu, oke-oke aja. Jadi, di mana ini sense of crisis-nya?” tegasnya.

Kritik Pemerintah Soal TPP

Faisal Basri mengkritik keputusan pemerintah yang ingin bergabung dengan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) tanpa melakukan kajian mendalam terlebih dahulu. Menurutnya, pendekatan pemerintah dalam hal ini menunjukkan pola pikir yang terbalik.

“Pak Jokowi apakah mau masuk TPP atau tidak, enggak bisa mengatakan 'saya tertarik' terus Menteri Perdagangan bilang ‘kami akan lakukan kajian.’ Harusnya kaji dulu baru bilang tertarik apa enggak. Ini kebolak-balik (pola pikir pemerintah). Ini yang agak repot,” ujar Faisal dalam acara diskusi di Jakarta, Sabtu, 14 November 2015.

“Selama ini dalam setiap kerjasama ekonomi luar negeri, termasuk TPP sekalipun selalu memilki dua sisi, ada yang diuntungkan, ada pula yang dirugikan.”

Setiap negara memiliki cara berbeda untuk mengurangi kerugian dari kerjasama perdagangan bebas. Strategi ini melibatkan persiapan matang untuk sektor produksi yang mungkin akan terdampak oleh masuknya produk impor.

“Jadi misalnya ada industri kita yang enggak unggul dikasih waktu waktu pindah jadi ke industri unggul. Oleh karena itu ada namanya social protection expenditure yang dilakukan disemua negara sebagai antisipasi globalisasi. Jadi ada yang diuntungkan dan dirugikan,” kata Faisal.

Faisal juga menyadari, jika Indonesia tidak bergabung dengan TPP, konsekuensinya adalah akan kalah bersaing dengan negara-negara seperti Vietnam dan Malaysia yang merupakan pesaing dagang utama Indonesia.

Hilirisasi dan Tantang Luhut Debat

Faisal pernah mengkritik tajam kebijakan hilirisasi. Menurutnya, upaya untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri justru memberi peluang bagi China untuk memperkuat dominasinya di pasar Indonesia.

Faisal menilai, investasi China dalam sektor hilirisasi di Indonesia lebih banyak menguntungkan China daripada memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi Indonesia. Ia mengungkapkan, keuntungan dari kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia sebagian besar, sekitar 90%, justru mengalir ke China, sementara Indonesia hanya mendapatkan sisa 10%.

Hal ini terjadi karena sebagian besar perusahaan smelter nikel yang beroperasi di Indonesia berasal dari China. Akibatnya, pendapatan dari penjualan hasil hilirisasi nikel sebagian besar dikirim kembali ke China. Selain itu, hilirisasi di Indonesia saat ini baru sebatas pada produk Nikel Pig Iron (NPI) dan feronikel.

“Kalau hilirisasi sekedar dari bijih nikel jadi NPI atau jadi feronikel. NPI dan feronikel 99% diekspor ke China jadi hilirisasi Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China itu dia, luar biasa,” ujar Faisal dalam diskusi INDEF beberapa waktu lalu.

Kritik tersebut memicu kemarahan dari pejabat pemerintah. Puncaknya, pada awal tahun ini, Faisal Basri tiba-tiba menantang Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, beserta Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, untuk berdebat tentang isu hilirisasi di dalam negeri.

Menurut Faisal Basri, konsep hilirisasi yang diterapkan di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo dianggapnya keliru. Ia bahkan tidak ragu untuk mengajak Tom Lembong, Co-Captain Timnas pasangan Capres dan Cawapres AMIN, untuk berdiskusi tentang hal tersebut.

“Konsep hilirisasi yang sangat sesat, saya bisa debat deh sama Luhut, saya terbuka gitu, Anda organisir saja. Saya sama Tom Lembong deh berdua lawan Luhut dengan Seto,” ucapnya dalam diskusi publik Indef Tanggapan Atas Debat Kelima Pilpres, Selasa, 6 Februari 2024.

Baca Juga: 

Soal Kenaikan BBM

Faisal Basri mengungkapkan bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi oleh Pemerintah merupakan dampak dari kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di masa lalu. Ia menjelaskan bahwa pada periode Desember 2008 hingga Januari 2009, Presiden Yudhoyono telah menurunkan harga BBM sebanyak tiga kali.

“Pak SBY secara heroik menurunkan tiga kali harga BBM, dua kali Desember 2008, sekali Januari 2009, harga sudah Rp6.000, dia turunkan dari Rp5.500, Rp4.500. Kalau dia (SBY) tidak begitu, kenaikan BBM sebenarnya Rp1.000 perak saja sudah cukup. Ini dia memakan kelakuannya sendiri,” kata Faisal dalam diskusi bertajuk “BBM Naik, Siapa Tercekik?” di Jakarta, Sabtu, 22 Juni 2013.

Menurut Faisal, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi bukanlah upaya untuk menghemat keuangan negara. Ia berpendapat, langkah tersebut diambil semata-mata untuk menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah membengkak.

“Sehingga postur APBN sekarang, kalau kata Hatta lebih baik dari APBN 2013, itu tidak benar, karena defisitnya naik dari satu koma menjadi dua koma, penerimaan juga turun,” tutur Faisal.

Faisal menambahkan, rakyat miskin yang akan merasakan dampak terbesar dari kenaikan harga BBM bersubsidi ini, sementara orang kaya cenderung tidak menikmati subsidi karena menggunakan BBM jenis Pertamax.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 05 Sep 2024 

Editor: Isman Wahyudi
Bagikan
Isman Wahyudi

Isman Wahyudi

Lihat semua artikel

Related Stories