DPR
Senin, 17 November 2025 09:26 WIB
Penulis:Redaksi
Editor:Redaksi

JAKARTA - Industri migas nasional menekankan bahwa finalisasi RUU Migas adalah langkah krusial guna menarik investor jangka panjang ke aktivitas hulu. Jika kepastian regulasi tidak segera hadir, lonjakan investasi yang mulai muncul pada 2025 berpotensi sekadar menjadi efek sementara.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (ASPERMIGAS), Moshe Rizal, menegaskan Indonesia membutuhkan kepastian hukum untuk kontrak jangka panjang dan upaya serius melakukan eksplorasi oleh pemerintah. Ia juga menyebutkan landasan kebijakan yang kuat merupakan daya tarik investasi di Indonesia. Tanpa itu, Indonesia akan tetap tertinggal dari negara lain, terutama bagi investor besar yang mengincar proyek jangka panjang dan berisiko tinggi. Upaya paling mendesak untuk menarik investor adalah pengesahan segera RUU Migas.
Beleid ini disebutnya sudah lama terkatung-katung tanpa kejelasan. "Urgensinya sudah sejak lima tahun lalu, tapi belum juga keluar. Ini penting sekali dan harus keluar secepatnya," tegas Moshe.
BACA JUGA: DPR Sebut Pembaruan UU Migas Ciptakan Iklim Investasi yang Kondusif
Menurutnya, keterlambatan penetapan RUU Migas tidak semata-mata akibat pertimbangan teknis atau keberatan dari pihak investor. Hambatan ini lebih didominasi oleh masalah internal yang berlarut-larut di kalangan kementerian dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti perdebatan mengenai pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK).
Moshe menegaskan identitas entitas penandatangan kontrak tidak menjadi isu utama bagi investor, asalkan pihak tersebut sah mewakili negara, investor tidak begitu peduli siapa yang menandatangani kontrak, entah dari BUMN seperti Pertamina atau SKK Migas.
Fokus utama investor lebih kepada jaminan kepastian hukum yang melekat pada kontrak tersebut. Ia mengingatkan bahwa kontrak bagi hasil memiliki posisi yang sangat tinggi dan harus berada di level undang-undang.
Aturan Migas yang baru dinilai sangat penting dan harus segera dikeluarkan karena beleid yang lama sudah penuh cacat dan tidak lagi mampu memberikan landasan kepastian hukum yang dibutuhkan oleh pasar global. Meskipun diakuinya dampak investasi secara keseluruhan juga dipengaruhi oleh faktor geopolitik, kepastian hukum tetap paling utama.
Lebih lanjut, dalam upaya menarik investor untuk lapangan marginal dan frontier, Moshe menekankan perlunya insentif tambahan. Ia secara khusus mengkritisi skema Kerja Sama Operasi (KSO) yang kini banyak diaplikasikan. "KSO itu investor dianggap kayak kontraktor aja," kata dia.
Saat ini, skema yang ada dinilai baru mampu menarik minat investor berskala kecil dengan kapasitas finansial terbatas. Moshe menyarankan agar pemerintah menawarkan kontrak berjangka panjang sekitar 10 hingga 30 tahun guna memberikan kepastian dan menarik minat investor dengan kapasitas finansial yang lebih kuat.
Dia juga meminta agar pemerintah mau berinvestasi dalam mengumpulkan data eksplorasi. Data ini kunci untuk menarik investasi karena bisa mengurangi risiko terhadap lapangan-lapangan yang ditawarkan kepada investor.
"Bagaimana kita menurunkan risiko sehingga lebih menarik bagi investor. Karena investor kan kalau risiko tinggi, dia mundur. Risiko oke, ya masing-masing investor punya level risiko yang mereka bisa terima," katanya.
Data SKK Migas mencatat, hingga Agustus 2025 investasi di hulu Migas tembus sekitar US$ 8,9 miliar atau setara Rp 148,6 triliun (kurs Rp 16,699). Adapun target tahun ini ditetapkan sebesar US$ 16,5 miliar sampai US$ 16,9 miliar. Jumlah tersebut merupakan total investasi kegiatan hulu migas, baik capital expenditure, operational expenditure, eksplorasi maupun produksi. Tren investasi eksplorasi sendiri terus meningkat.
Sejalan dengan ASPERMIGAS, Anggota Komisi XII DPR RI, Yulisman, menilai momentum meningkatnya investasi hulu migas pada 2025 merupakan sinyal positif yang harus dijaga. Namun ia mengingatkan bahwa peningkatan investasi tersebut bisa bersifat sementara apabila revisi UU Migas tak kunjung rampung.
"Namun, peningkatan investasi ini harus diimbangi dengan kepastian hukum dan regulasi yang jelas," ujar Yulisman dalam keterangannya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Yulisman menyebutkan Komisi XII DPR RI berkomitmen mempercepat pembahasan RUU Migas bersama pemerintah agar beleid baru tersebut mampu memberikan kepastian hukum, mendorong investasi, sekaligus menyiapkan transisi energi yang berkeadilan.
Pemerintah sendiri secara aktif menawarkan reformasi fiskal dan insentif kompetitif, seperti yang menjadi fokus utama delegasi Indonesia di Abu Dhabi International Petroleum Exhibition and Conference (ADIPEC) 2025. Langkah-langkah reformasi tersebut mencakup penyederhanaan birokrasi, penawaran bagi hasil yang lebih kompetitif, serta skema perpajakan yang lebih jelas untuk proyek-proyek non-konvensional.