Relevankah Industri Testing, Inspection & Certification di Era AI?

Minggu, 17 Agustus 2025 08:11 WIB

Penulis:Isman Wahyudi

Editor:Isman Wahyudi

adobestock artificial intelligence.jpg
(null)

Kolom oleh Arifin Lambaga

Praktisi dan Pemerhati Industri Testing, Inspection, Certification (TIC) dan CEO Mutuagung Lestari

Ada yang terasa saling berseberangan: antara keberadaan industri testing, inspection and certification (TIC), dengan makin dimanfaatnya artificial intelligence (AI). Ini lantaran titik pusat perhatian industri TIC adalah kepatuhan terhadap standar. 

Seluruhnya dibuktikan lewat pengujian dan inspeksi, yang ketika terpenuhi diterbitkan sertifikat. Industri yang berbasis penilaian pada kepatuhan standar ini, terkesan statis memperhatiikan indikator-indikator yang dikendalikan manusia 

Sedangkan digunakannya AI di suatu bidang kerja, menuntut kreativitas mengubah ide, konsep dan gagasan, menjadi hasil yang presisi. Hasil ini bisa berupa barang, jasa, rekomendasi. Dari yang bersifat konkrit hingga abstrak. 

Baca Juga: 

Penggunaannya mulai dari perangkat berbasis large language model (LLM), berwujud semacam ChatGPT, Gemini, Grok, Canva, Grammarly dengan pengoperasian yang bertumpu pada prompt. Juga dalam bentuk pengubah informasi yang dikumpulkan melalui sensor. Ini kemudian oleh machine learning direspon sesuai algoritmanya. 

Hasil yang diperoleh selain sangat bergantung pada informasi yang diinput pada perangkat, juga bergantung pada pola algoritma yang terbentuk di dalam perangkat. Hasilnya tak selalu dapat dikendalikan, berdasar standar tertentu. 

Ilustrasinya, kendaraan tanpa pengemudi semacam Tesla yang dilengkapi berbagai sensor peng-input informasi. Maching learning -nya, mengolah informasi untuk membangun pola algoritma. Pola algoritma ini menjadi dasar respon kendaraan, saat menjalankan fungsinya di jalan raya. 

Ketika kendaraan dioperasikan di ruang yang berbeda –Tesla yang dioperasikan di jalan raya Amerika Serikat, responsnya bakal berbeda dengan Tesla yang sama namun dioperasikan di Indonesia. Ini lantaran informasi lalu lintas maupun keadaan lingkungan lainnya berbeda, menyebabkan pola algoritmanya berbeda. Seluruhnya menimbulkan respon yang berbeda pula. 

Selain faktor digunakannnya AI di ruang yang berbeda, adanya kualitas data yang berbeda juga menyebabkan hasil yang berbeda. Alisha Madaan, 2024, dalam “The AI Data Validation Imperative: Ensuring the Integrity of AI to Drive Optimal Business Outcomes – AI Data Quality & Consistency”, menyebut: kualitas data yang diinput pada sistem berbasis AI memberi pengaruh sangat penting. 

Dalam dunia AI dan machine learning, kualitas data input, secara langsung menentukan dan memengaruhi kualitas output. Data berkualitas tinggi, konsisten, dan andal, menyebabkan sistem AI dapat belajar secara efektif, membuat prediksi yang akurat, dan memberikan hasil bisnis yang optimal. Karenanya, diperlukan adanya strategi kualitas data, untuk memelihara hasil yang diharapkan. 

Ahli ekonomi perempuan berkebangsaan India ini, juga menggunakan ilustrasi beroperasinya kendaraan tanpa pengemudi. Ia menyebutkan kurang lebih, saat membangun kendaraan otonom, sistem berbasis AI-nya bergantung pada kumpulan data gambar yang sangat besar. 

Ini untuk mengidentifikasi pejalan kaki, rambu jalan, dan rintangan. Jika data pelatihan dirusak oleh gambar yang salah label, atau ketidakakuratan, kemampuan AI untuk bernavigasi dengan aman menjadi diragukan. Inilah inti dari prinsip GIGO, garbage In, garbage out. Di dunia AI dan machine learning, kualitas data input secara langsung menentukan dan memengaruhi kualitas output.

Ketika data –dibandingkan kerja manusia-- secara menyolok menentukan presisinya hasil kerja bidang apapun, menjadikan sistem berbasis AI, lebih sulit dikendalikan dibanding cara kerja tanpa AI. 

Lalu bagaimana memelihara keberadaan industri TIC yang bidang kerjanya semula berbasis kepatuhan pada standar yang banyak melibatkan manusia? Masih relevankan industri TIC di era AI? Jawaban pertanyaan di atas: masih relevan. 

Bahkan prediksi marketsandmarkets.com, 2025, dalam tulisannya Testing, Inspection and Certification (TIC) Market Size, Share & Trends” menyebut, pertumbuhan global industri TIC meningkat dari USD 239,48 miliar pada tahun 2025 menjadi USD 282,76 miliar pada tahun 2030. Sedangkan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR)-nya, mencapai 3,4%. 

Marketsandmarkets --lembaga konsultasi yang menganalisa munculnya peluang-peluang baru akibat disrupsi yang ditimbullkan oleh teknologi informasi ini-- juga menyebut: AI generatif telah merevolusi industri TIC

Perannya mulai dari penyederhanaan operasi melalui otomastisasi tugas-tugas pembuatan laporan, melakukan deteksi awal ketidaknormalan proses, hingga dapat melakukan pencegahan cacat produk yang dihasilkan. Dengan algoritma yang disusun machine learning, pengujian nondestruktif dan inspeksi realtime dapat dilakukan.

Sehingga hasil inspeksi menjadi lebih akurat. Ini juga tercapai akibat kesalahan manusia yang diminimalkan. Tapi tentu saja, pencapaian itu ketika seluruh persyaratannya tercapai. Kata kuncinya, sebagaimana ilustrasi sebelumnya, pada integritas -- kualitas maupun kecukupan—data.

Soal integritas data ini, TIC Council lewat white paper yang diterbitkannya di tahun 2024, dengan judul “Trustworthiness of Artificial Intelligence Recommendations of the TIC Sector”, menyebut setidaknya 7 hal, terkait data yang harus diperhatikan industri TIC.

Pertama, kualitas dan kuantitas data yang dikumpulkan harus mampu menggambarkan keadaan perusahaan. Data lingkup kerja yang dilaksanakan, maupun tingkat kualitas sasaran perusahaan, jumlahnya harus cukup besar. Ini digunakan untuk melatih machine learning, agar andal. 

Persyaratan kualitas dan kuantitas data mengacu pada konsep robustness and reliability, ketahanan dan keandalan data. Tafsirnya, perusahaan yang memberikan layanan TIC harus mempersyaratkan akses pada data-data perusahaan yang dilayani. Terpenuhinya syarat ini menyebabkan proses TIC berbasis AI terselenggara dengan presisi.

Kedua, sumber data yang digunakan harus transparan dan etis. Transparan ini juga menyangkut cara kerja sistem berbasis AI, yang digunakan perusahaan berikut keterbatasannya. 

Seluruhnya sangat penting dalam mencapai akuntabilitas. Ini artinya, perusahaan TIC bekerja dengan data perusahaan yang diketahui: sumber datanya, cara pengumpulannya, periode pengumpulannya, cara pengolahan datanya, hingga tersusunnya algoritma.

Dalam hal adanya keterbatasan --termasuk terjadinya bias-- perusahaan mengungkap potensi bias itu berdasar datanya. Sehingga secara etis, bias yang berlanjut dan tak terlacak dapat diminimalkan. Setidaknya dikompensasi secara adil. Mitigasi bias data secara etis dan adil ini, merupakan syarat ketiga terkait integritas data.

Keempat, perlindungan data sensistif dan keamanan siber. Terhadap adanya data dari pihak lain yang dikumpulkan perusahaan –termasuk adanya data sensitif-- harus dipastikan mekanisme perlindungannya. 

Perlindungan data ini, juga terkait pengendalian keamanan siber terhadap data sensitif yang mempengaruhi integritas aplikasi berbasis AI. Dan kelima,dilakukannya penilaian fungsionalitas yang melibatkan data. 

Penilaian tak hanya mengandalkan kajian terhadap dokumen perusahaan, namun juga menyangkut hal yang fungsional dan praktis. Ini termasuk model AI yang dihasilkan. Keenam, ditentukannya jenis data untuk pelatihan sistem. Kerangka penilaian yang mampu mencegah terjadinya kesalahan, harus mempertimbangkan jenis data yang digunakan untuk melatih sistem berbasis AI. 

Perusahaan TIC yang memberikan layanan, memandu perusahaan menentukan data yang sesuai untuk pengembangan machine learning-nya. Sehingga dapat dibangun sistem AI yang andal. 

Sedangkan yang terakhir, ketujuh, dilakukannya penilaian secara berkala --yang lazim disebut surveillance—agar penerapan sistem perusahaan yang telah berbasis AI dapat diterapkan berkelanjutan. Ini artinya, sistem AI yang telah berjalan harus terus diamati penerapannya, seraya ditinjau kemungkinan terjadinya penurunan kinerja. 

Sumber penurunan kinerja bisa berupa bias yang terbawa oleh data, munculnya masalah etika, adanya input data baru atau perubahan eksogen maupun endogen perusahaan. Dengan pernyataan lain, bagian ketujuh ini merupakan mandat bagi perusahaan TIC untuk mendorong perusahaan yang dilayaninya, melalukan perbaikan terus menerus yang bersifat dinamis.

Di bagian lain white paper juga disebutkan, agar perusahaan TIC tetap relavan di era AI, perlu melakukan beberapa langkah-langkah strategis. Ini termasuk, mengadopsi kerangka penilaian berbasis risiko, menerapkan prinsip security-by-design yang kuat, mengembangkan kerangka pengujian AI yang komprehensif, memastikan jaminan fungsional dan verifikasi sistem AI. 

Baca Juga: 

Selain itu, melakukan penilaian kesesuaian independen, mengimplementasikan manajemen siklus hidup sistem AI, mempertahankan dan mengembangkan kompetensi, terlibat aktif dalam pekerjaan standardisasi, memantau AI di pasar, dan meningkatkan komunikasi maupun kesadaran calon konsumen terhadap peran industri TIC, serta melibatkannya dalam penilaian kinerja aplikasi AI.

Seluruh langkah strategis di atas –yang merupakan peningkatan pengetahuan, pemahaman dan kompentensi pada segitiga berunsur (1) bidang AI itu sendiri, (2) dinamika standar dan (3) kesadaran konsumen—seluruhnya berujung pada terbentuknya kepercayaan pada lembaga TIC. 

Industri bidang ini tak pernah surut relevansinya, juga di tengah maraknya pengembangan dan pemanfaatan AI, selama para pelakunya selalu memperbarui pemahaman pada perubahan yang pasti terjadi. TIC terus relevan, selama manusia tetap menghendaki kehidupan yang berkualitas.  

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh trenasia pada 17 Aug 2025