Ekonomi & Bisnis
Rp200 Triliun Masuk ke Bank BUMN, Euforia Pasar Saham atau Bahaya Tersembunyi?
MAKASSARINSIGHT.com – Pasar saham Indonesia, khususnya sektor perbankan, berpesta pora pekan ini. Saham-saham bank BUMN atau Himbara kompak menguat, melanjutkan sentimen super positif setelah pemerintah mengumumkan rencana menggelontorkan dana jumbo sebesar Rp200 triliun ke dalam sistem perbankan.
Pada perdagangan Jumat, 12 September 2025, reli ini terus berlanjut. Namun, di balik euforia ini, para analis justru melihat adanya dua sisi mata uang: berkah jangka pendek dan 'jebakan' atau risiko jangka panjang yang perlu diwaspadai oleh para investor.
Langkah yang diambil oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ini diibaratkan sebagai tetesan air di musim kering likuiditas. Lantas, apa sebenarnya berkah dan risiko di balik 'hujan duit' ini? Mari kita bedah tuntas analisisnya.
Baca Juga:
- Kondisi Skor Kesehatan Finansial Indonesia 2025 Turun, OCBC Ajak Warga Bangkit dengan Optimis
- Internet Merata hingga ASEAN, Satelit Nusantara Lima Meluncur ke Orbit
- Ronkb Percepat Proses Pengajuan Lisensi di Indonesia, Arsitektur Kepatuhan Selaras dengan Regulasi
1. Berkah Jangka Pendek: Saham Bank BUMN Kompak Reli
'Hujan duit' Rp200 triliun ini jelas menjadi nafas segar bagi perbankan dan langsung memicu sentimen positif di pasar. Saham-saham bank BUMN sontak menjadi primadona, diburu oleh para investor yang optimistis dengan prospek jangka pendek dari suntikan likuiditas ini.
Pada perdagangan hari ini, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) memimpin reli dengan kenaikan 1,72%ke level Rp4.150. Kenaikan solid juga dicatatkan oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) yang naik 1,36% menjadi Rp4.480.
Penguatan juga terjadi pada PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) yang menguat 1,48% menjadi Rp1.375, serta PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) yang bertambah 0,67% ke posisi Rp4.510. Bahkan, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) mencatat kenaikan tertinggi sebesar 1,88%.
2. Jebakan Jangka Panjang: Risiko Margin Tergerus dan Kualitas Aset
Namun, di sinilah letak 'jebakan' atau risikonya. Analis Samuel Sekuritas Indonesia, Prasetya Gunadi, mengingatkan bahwa efektivitas stimulus ini dalam mendorong penyaluran kredit akan sangat bergantung pada kesediaan bank untuk membuka keran pinjaman.
Lebih dari itu, ada kekhawatiran jika nantinya pemerintah 'memaksa' bank untuk menyalurkan kredit berbunga rendah demi menyukseskan program-program negara. “Jika ini terjadi, maka Margin Bunga Bersih (NIM) perbankan justru berpotensi tergerus,” jelasnya dalam risetnya pada Jumat, 12 September 2025.
Risiko terbesar, menurut Prasetya, adalah jika dorongan politik membuat bank menyalurkan pinjaman berisiko tinggi. Skenario terburuknya, rasio kredit bermasalah (NPL) yang kini 2,1% bisa melonjak melewati 6%, yang akan memicu lonjakan biaya pencadangan.
3. Suara dari Luar: Permintaan Kredit Masih Jadi PR
Pandangan ini juga diamini oleh pengamat perbankan, Trioksa Siahaan. Menurutnya, meskipun suplai likuiditas sudah ditambah, tantangan berikutnya ada di sisi permintaan, terutama untuk kredit produktif di tengah kondisi ekonomi saat ini.
Ia menekankan pentingnya upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat secara umum. Tanpa adanya peningkatan pendapatan riil di masyarakat, permintaan kredit yang sehat akan sulit untuk tumbuh secara berkelanjutan.
"Perlu diperhatikan juga peningkatan pendapatan masyarakat secara umum agar permintaan tumbuh dan sektor produktif kembali bergairah," sebutnya, menyoroti sisi lain dari persamaan ini.
Baca Juga:
- Pemkot Kucurkan Rp5 Miliar per Bulan, Jadikan Makassar Pusat Event Nasional
- Kenapa Gerhana Bulan 7 September Disebut ‘Bulan Darah’? Ini Penjelasannya
- Penuhi SVLK, Produk Wood Pellet Indonesia Terjamin Legal, Berkelanjutan, dan Patuh Hukum
4. Apa Artinya Ini Bagi Investor?
Bagi investor, situasi ini menyajikan sebuah dilema. Reli harga saham bank BUMN yang terjadi saat ini lebih didorong oleh sentimen positif jangka pendek dari suntikan likuiditas, sebuah berkah yang nyata.
Namun, ada risiko jangka panjang yang tidak bisa diabaikan, yaitu potensi penurunan margin dan memburuknya kualitas aset. Investor perlu menimbang antara euforia sesaat dengan fundamental bisnis perbankan yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, kebijakan ini adalah pertaruhan. Efektivitasnya akan sangat bergantung pada kebijaksanaan bank dalam menyalurkan kredit, serta kemampuan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat agar permintaan kredit tetap sehat.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Alvin Bagaskara pada 12 Sep 2025