Minim Edukasi Paylater pada Masyarakat, Bom Utang Jadi Ancaman

Ilustrasi Pengguna Paylater. (Freepik)

MAKASSARINSIGHT.com — Industri keuangan digital, terutama layanan PayLater, terus berkembang pesat di Indonesia. Kemudahan akses dan penggunaannya membuat layanan ini menjadi pilihan banyak masyarakat dalam bertransaksi, terutama untuk kebutuhan belanja online. Namun, minimnya edukasi kepada masyarakat akan produk keuangan ini pun dikhawatirkan dapat menjadi ancaman di suatu hari nanti. 

Di balik popularitas Paylater, ada tantangan serius yang harus dihadapi, yakni tingginya kredit macet dan rendahnya literasi keuangan di kalangan masyarakat. 

Hal ini diungkapkan oleh Rio Priambodo, Ketua Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dalam wawancara eksklusif.

Menurut Rio Priambodo, meskipun inklusi keuangan di Indonesia mengalami kemajuan berkat hadirnya layanan keuangan digital seperti PayLater, hal ini tidak sejalan dengan peningkatan literasi keuangan. 

Baca Juga: 

“Inklusi dan motivasi untuk perubahan memang terlihat di sini. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa inklusi keuangan tidak berjalan linear dengan literasi keuangan,” ujar Rio. Rendahnya literasi ini menyebabkan masyarakat belum sepenuhnya memahami risiko penggunaan PayLater yang tidak bijak.

Salah satu kekhawatiran yang disampaikan oleh Rio adalah penggunaan PayLater yang cenderung untuk kebutuhan konsumtif daripada produktif. 

Banyak konsumen yang menggunakan layanan ini untuk belanja online dan kebutuhan sehari-hari, yang justru meningkatkan gaya hidup, alih-alih memperbaiki kondisi ekonomi. 

“PayLater seharusnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi dan kualitas hidup, namun kenyataannya banyak yang menggunakannya untuk kebutuhan konsumtif, terutama belanja online. Akibatnya, banyak konsumen yang gagal bayar,” jelasnya.

Minimnya Edukasi dari Platform PayLater

Rio juga menyoroti kurangnya edukasi yang diberikan oleh platform PayLater kepada konsumen terkait risiko dan penggunaan layanan ini. 

Menurutnya, saat ini, platform lebih fokus pada promosi, kemudahan pencairan, dan bunga rendah, tanpa memberikan pemahaman yang mendalam kepada konsumen. 

“Yang kami lihat saat ini adalah edukasi dan sosialisasi masih kurang. Platform lebih banyak fokus pada promosi, kemudahan pencairan, dan bunga rendah. Yang seharusnya lebih ditekankan adalah edukasi mengenai dampak dari penggunaan PayLater,” tutur Rio.

Ia menambahkan, edukasi seharusnya menjadi tanggung jawab para pelaku usaha yang menawarkan layanan PayLater, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Rio menegaskan bahwa pelaku usaha memiliki kewajiban untuk mengedukasi konsumen tentang cara menggunakan PayLater secara bijak, bukan hanya menawarkan kemudahan yang dapat menyebabkan konsumen terjebak dalam utang yang tidak produktif.

Ketidakseimbangan Inklusi dan Literasi Keuangan

Dalam pandangan Rio, salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya kredit macet pada layanan PayLater adalah ketidakseimbangan antara inklusi dan literasi keuangan. 

Masyarakat sering kali tergiur oleh kemudahan yang ditawarkan, namun tidak memahami sepenuhnya konsekuensi dari penggunaan PayLater, seperti bunga, denda keterlambatan, serta mekanisme penagihan. 

“Literasi masyarakat terkait hal itu masih belum cukup baik. Banyak yang menggunakan PayLater tanpa mempertimbangkan dampaknya secara bijak,” ungkap Rio.

Ia menjelaskan, banyak konsumen yang tidak membandingkan bunga PayLater dengan produk keuangan lainnya, seperti kredit perbankan atau pinjaman fintech lainnya. 

Hal ini sering kali membuat konsumen terjebak dalam promosi yang mengedepankan kemudahan, tanpa memikirkan risiko di baliknya. 

“Akibatnya, mereka terjebak dalam promosi yang mengatakan bahwa PayLater itu mudah dan tanpa jaminan, sehingga membuat mereka tergoda untuk menggunakannya tanpa perhitungan matang,” tambahnya.

Baca Juga: 

Perlu Regulasi yang Lebih Ketat

Mengingat tingginya risiko gagal bayar dan dampak negatif penggunaan PayLater yang tidak bijak, Rio menyarankan adanya regulasi yang lebih ketat terkait layanan ini. 

Menurutnya, perlu ada verifikasi yang lebih mendalam sebelum pencairan dana dilakukan, terutama untuk memastikan bahwa konsumen memiliki kemampuan finansial yang memadai.

“Prinsip 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral, dan Conditions) harus diterapkan dengan benar. OJK dan pelaku usaha perlu memastikan bahwa konsumen benar-benar memiliki kemampuan finansial yang memadai sebelum diberikan fasilitas PayLater,” jelas Rio. 

Ia menekankan pentingnya regulasi yang lebih berfokus pada kualitas pinjaman daripada kuantitas, agar konsumen tidak terjebak dalam utang yang berlebihan.

Rio juga menyebutkan bahwa pelaku usaha harus lebih berhati-hati dalam memberikan limit kredit PayLater, terutama kepada konsumen yang belum memiliki penghasilan tetap atau memiliki kondisi finansial yang tidak stabil. 

“Jangan sampai anak-anak muda yang belum memiliki penghasilan atau konsumen yang penghasilannya tidak tetap diberi limit PayLater yang melebihi kemampuannya,” tegasnya.

Edukasi sebagai Solusi Jangka Panjang

Pada akhirnya, Rio Priambodo menegaskan bahwa edukasi bagi masyarakat harus menjadi prioritas utama dalam penggunaan layanan PayLater. 

Dengan literasi keuangan yang baik, masyarakat dapat menggunakan layanan ini dengan lebih bijak dan menghindari risiko gagal bayar yang bisa berdampak pada kondisi finansial mereka. 

Regulasi yang lebih ketat dan edukasi yang memadai dari pelaku usaha diharapkan dapat menjadi solusi jangka panjang dalam mengatasi tantangan di industri keuangan digital ini.

“Edukasi bagi masyarakat harus menjadi prioritas agar mereka dapat menggunakan layanan PayLater dengan bijak dan tidak terjebak dalam utang yang tidak produktif,” pungkas Rio Priambodo.

Generasi Z dan Milenial: Pengguna Dominan Paylater yang Juga Menyumbang Kredit Macet

Sistem Paylater kian populer di Indonesia, dengan Generasi Z dan Milenial menjadi kelompok pengguna terbesar layanan ini. Meski demikian, kedua generasi tersebut juga memberikan kontribusi besar terhadap meningkatnya angka kredit macet. 

Berdasarkan data dari Pefindo Biro Kredit (Idscore), nilai outstanding pinjaman Paylater mencapai Rp30,14 triliun dengan jumlah pengguna mencapai 14,37 juta per Juni 2024, meningkat sebesar 9,35% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Penguasaan Generasi Z dan Milenial dalam Kredit Paylater 

Rata-rata pengguna layanan Paylater memiliki hingga tiga kontrak aktif, memungkinkan mereka melakukan tiga kali pinjaman dalam satu periode transaksi. 

Berdasarkan data, sekitar 48,06% pengguna layanan ini berusia antara 20 hingga 30 tahun, sementara 29,3% berada dalam rentang usia 30 hingga 40 tahun. Angka ini menunjukkan dominasi yang kuat dari Generasi Z dan Milenial dalam memanfaatkan layanan paylater di Indonesia.

Pengguna berusia antara 40 hingga 50 tahun tercatat sebanyak 1,85 juta orang, sedangkan mereka yang berusia 50 hingga 55 tahun berjumlah sekitar 509 ribu orang, dan pengguna yang berusia lebih dari 55 tahun berjumlah sekitar 262 ribu orang.

Kenaikan Rasio Kredit Macet 

Seiring dengan meningkatnya penggunaan paylater, terjadi pula kenaikan rasio kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL). 

Pada semester pertama 2024, pengguna dengan status kolektabilitas (KOL) 5 mencapai angka Rp1,42 triliun. Usia 30 hingga 40 tahun menjadi penyumbang kredit macet terbesar, dengan persentase mencapai 38,03%. Sementara itu, kelompok usia 20 hingga 30 tahun juga berkontribusi signifikan terhadap kredit macet, dengan proporsi sebesar 31,7%.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 09 Sep 2024 

Editor: Isman Wahyudi
Bagikan
Isman Wahyudi

Isman Wahyudi

Lihat semua artikel

Related Stories