Ekonomi & Bisnis
Luas Kawasan Hutan di Gorontalo: Ulasan Data DLHK dan Implikasinya untuk Isu Deforestasi Gorontalo
GORONTALO — Provinsi Gorontalo, menurut laporan dari DLHK, memiliki total kawasan hutan dan konservasi perairan seluas 764.881 hektare. Data ini mengundang perhatian dalam konteks isu deforestasi Gorontalo, karena menunjukkan bahwa area berhutan masih sangat luas.
Distribusi fungsi menunjukkan bahwa hutan lindung mencapai 202.348,52 ha, kawasan suaka alam dan pelestarian alam sebesar 196.522,47 ha, dan hutan produksi terbatas sekitar 252.663,30 ha. Hutan produksi tetap menyumbang 90.092,02 ha, sedangkan hutan produksi yang dapat dikonversi berada di angka 23.254,95 ha.
Kabupaten Pohuwato mencatat luas hutan terbesar di provinsi ini dengan 311.594,03 ha, disusul Kabupaten Bone Bolango (121.591,06 ha), Gorontalo Utara (109.435,27 ha), Boalemo (90.626,54 ha), dan Kabupaten Gorontalo (99.911,51 ha). Kota Gorontalo memiliki luas paling kecil yaitu sekitar 31,89 ha.
BACA JUGA: Penuhi SVLK, Produk Wood Pellet Indonesia Terjamin Legal, Berkelanjutan, dan Patuh Hukum
Angka‐angka tersebut memaparkan bahwa fungsi lindung dan pelestarian alam bersama hutan produksi terbatas mendominasi kawasan berhutan di Gorontalo. Namun, muncul pula kategori “hutan produksi yang dapat dikonversi” dengan 23.254,95 ha, yang secara teknis memiliki potensi perubahan fungsi kawasan.
Sehingga, dalam wacana deforestasi Gorontalo, penting untuk memahami bahwa “deforestasi” dalam pengertian luas bukan semata “hilangnya hutan”, tetapi bisa mencakup perubahan fungsi kawasan tanpa penanaman ulang atau tanpa pengelolaan sesuai peruntukkan. Dalam data ini tidak terdapat klaim eksplisit terhadap perubahan besar atau cepat pada fungsi kawasan.
Sumber data DLHK memberikan gambaran kondisi statis tentang luas dan klasifikasi kawasan hutan per fungsi, namun tidak menyertakan detail perubahan tutupan atau kehilangan hutan dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi titik penting bagi pemangku kebijakan dan masyarakat untuk melihat isu pengelolaan hutan dengan parameter fungsi, tutupan, dan regulasi.
Dengan pemahaman seperti ini, narasi deforestasi Gorontalo bisa diperluas menjadi diskusi tentang pengelolaan kawasan hutan, perencanaan tata ruang, dan pemanfaatan hutan produksi secara terkendali, bukan hanya label bahwa “hutan hilang”. Data seperti milik DLHK menjadi pijakan utama dalam diskusi yang berbasis bukti.
