Kritik Strategi Adaptif AI-Hybrid Menghadapi Disrupsi Rantai Pasok Global di Era Krisis Geopolitik dan Iklim

Dr. Hasbiyadi, SE, MM, Wakil Ketua II dan Dosen Magister Manajemen PPs STIEM Bongaya Makassar (IST)

Oleh : Dr. Hasbiyadi, SE, MM (Wakil Ketua II dan Dosen Magister Manajemen PPs STIEM Bongaya Makassar)

Gelombang disrupsi rantai pasok global yang terjadi sejak pandemi COVID-19 belum sepenuhnya reda, dan kini diperparah oleh krisis geopolitik seperti perang Rusia–Ukraina, ketegangan di Laut Cina Selatan, serta eskalasi konflik di Timur Tengah. Bersamaan dengan itu, krisis iklim global memicu bencana alam lebih sering dan ekstrem, banjir yang melumpuhkan pelabuhan, kekeringan yang menurunkan produksi pertanian, hingga badai yang menghentikan jalur distribusi laut. Fenomena ini mengungkapkan kelemahan mendasar dari rantai pasok global yang selama ini mengandalkan efisiensi ekstrem namun minim cadangan strategis (Just-In-Time) (Christopher, 2022). 

Dalam konteks ini, perusahaan tidak cukup hanya melakukan digitalisasi atau sekadar menambah pemasok alternatif. Mereka memerlukan strategi adaptif berbasis AI-Hybrid, yakni kombinasi kecerdasan buatan (AI) prediktif, preskriptif, dan manusia dalam pengambilan keputusan yang mampu memprediksi risiko, mengoptimalkan respons, dan menyesuaikan strategi rantai pasok secara real-time. Kita berada pada era ketika strategi rantai pasok tidak lagi bisa bergantung pada pola masa lalu. Ketidakpastian menjadi permanen (Taleb, 2018), sehingga adaptasi harus menjadi DNA operasional, bukan sekadar reaksi darurat. 

Realitas disrupsi rantai pasok global saat ini bersifat multidimensi, di antaranya: geopolitik, dengan sanksi ekonomi, perang dagang, embargo, dan nasionalisme sumber daya yang memutus jalur distribusi kritis (Baldwin & Freeman, 2022); iklim, dengan bencana alam yang memutus transportasi, merusak infrastruktur, dan mengurangi kapasitas produksi (IPCC, 2023); serta teknologi, dengan serangan siber pada sistem logistik yang memperparah kerentanan distribusi global (World Economic Forum, 2024). Fakta menunjukkan, Global Supply Chain Pressure Index yang dirilis Federal Reserve Bank of New York masih menunjukkan volatilitas tinggi sejak 2020 hingga 2024. Artinya, dunia tidak kembali pada “normal” sebelum krisis, melainkan memasuki New Perpetual Disruption

Banyak perusahaan besar tetap menerapkan prinsip Just-In-Time (JIT) tanpa modifikasi signifikan. Strategi ini memang efisien saat stabilitas global terjaga, tetapi di era krisis justru menjadi liability. Kegagalan strategi konvensional dapat dilihat pada kasus industri otomotif global pada 2021–2023, di mana kekurangan chip semikonduktor membuat produksi berhenti berbulan-bulan (Shih, 2023). Masalahnya, sebagian besar model perencanaan rantai pasok masih berbasis data historis tanpa kemampuan adaptasi terhadap anomali besar. Akibatnya, prediksi meleset dan keputusan terlambat diambil. Di sinilah AI-Hybrid menawarkan diferensiasi strategis. 

Kerangka strategi adaptif berbasis AI-Hybrid terdiri dari Early Warning System (EWS) multi-sumber yang menggabungkan data meteorologi, intelijen geopolitik, dan pasar komoditas untuk deteksi dini; Dynamic Scenario Planning yang menggunakan machine learning untuk memodelkan skenario krisis dan dampaknya pada seluruh jaringan pasok; Real-Time Resource Reallocation di mana AI mengoptimalkan redistribusi stok, transportasi, dan sumber daya berdasarkan kondisi terkini; Strategic Buffer & Resilience Inventory dengan penentuan tingkat stok cadangan berbasis analisis risiko, bukan sekadar rata-rata permintaan; serta Collaborative AI Network yang memungkinkan berbagi data antar mitra pasok secara aman melalui blockchain dan secure data sharing

Meski teknologi AI tersedia, banyak perusahaan hanya memanfaatkannya untuk optimisasi biaya, bukan ketahanan strategis. Ini menciptakan efficiency trap yang membuat rantai pasok rapuh terhadap guncangan. Lebih parah, adopsi AI sering dilakukan secara silo, tidak terhubung lintas fungsi dan mitra. Sebagai contoh, pada 2022 salah satu raksasa ritel global gagal memenuhi lonjakan permintaan bahan makanan akibat gelombang panas di Eropa. AI-nya mampu memprediksi kekurangan stok, tetapi tidak terintegrasi dengan sistem logistik yang bisa mengalihkan pasokan secara cepat (McKinsey, 2023). 

Hal yang sama terjadi pada Maret 2021, ketika kapal Ever Given memblokir Terusan Suez selama hampir seminggu, menahan 12% perdagangan global. Perusahaan yang memiliki sistem AI-Hybrid mampu lebih cepat mengalihkan jalur melalui Tanjung Harapan dan menghitung ulang biaya logistik dalam hitungan jam, sementara yang lain membutuhkan hari atau minggu untuk merespons. Perbedaan waktu respons ini berdampak langsung pada kerugian finansial dan reputasi. 

Tantangan implementasinya adalah biaya tinggi, yakni investasi awal pada infrastruktur AI dan integrasi data lintas negara; kualitas data yang tidak lengkap atau bias yang mengurangi akurasi prediksi; serta resistensi organisasi akibat hambatan budaya dan politik internal dalam berbagi data antar fungsi. 

Era krisis geopolitik dan iklim memaksa perusahaan meninggalkan paradigma statis menuju adaptasi berkelanjutan. AI-Hybrid bukan sekadar tren teknologi, tetapi kebutuhan strategis yang menentukan keberlangsungan bisnis. Kunci suksesnya bukan hanya teknologi, tetapi juga kemauan organisasi untuk mengubah budaya manajemen dari reaktif menjadi proactive resilience.

Editor: Redaksi

Related Stories