KPK Duga Fraud Klaim Fiktif di JKN yang Berdampak ke Industri Asuransi

Ilustrasi petugas di fasilitas kesehatan. (Pexels)

MAKASSARINSIGHT.com, JAKARTA – Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan, mengungkapkan temuan kasus fraud atau kecurangan dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang melibatkan klaim fiktif di berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia. Kasus ini menimbulkan dampak serius terhadap keuangan negara dan mengancam stabilitas ekonomi, baik di sektor publik maupun swasta.

Pahala menjelaskan bahwa penyelidikan ini merupakan hasil kolaborasi antara KPK, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), BPJS Kesehatan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

Temuan ini menyoroti beragam modus kecurangan yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan dalam mengajukan klaim asuransi, baik di BPJS Kesehatan maupun di asuransi swasta, yang dapat merugikan negara dan masyarakat.

Baca Juga: 

Beragam Modus Fraud di Fasilitas Kesehatan

Pahala menyebutkan bahwa KPK merasa perlu berkomunikasi dengan asosiasi asuransi, terutama karena kecurangan yang terjadi di BPJS Kesehatan berpotensi juga terjadi di asuransi swasta. 

Salah satu modus yang sering ditemukan adalah perbedaan signifikan dalam biaya perawatan antara BPJS Kesehatan dan asuransi swasta. 

Misalnya, biaya dokter yang seharusnya hanya Rp400 ribu bisa melonjak hingga Rp1,5 juta di asuransi swasta. Selain itu, terdapat juga kasus "unnecessary treatment", di mana pasien disuruh menjalani prosedur atau pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan.

KPK menyoroti pentingnya pengaturan yang lebih ketat terhadap klaim di asuransi swasta untuk mencegah praktek-praktek yang merugikan tersebut. 

"Kami ingin agar pemerintah juga mengatur asuransi swasta, agar tidak terjadi praktek liar yang merugikan asuransi," ujar Pahala dalam podcast NGOBRAS yang ditayangkan di kanal YouTube AAJI Official, dikutip Jumat, 30 Agustus 2024.

KPK Memasuki Ranah Penyelidikan JKN

Awalnya, KPK tidak terlibat langsung dalam audit JKN. Namun, setelah melihat potensi kerugian yang besar akibat fraud, KPK memutuskan untuk turut serta dalam penyelidikan. 

Pahala mengungkapkan bahwa sejak tahun 2017, KPK bersama BPJS Kesehatan melakukan studi banding ke Amerika Serikat untuk mempelajari sistem anti-fraud di sana. Mereka terkejut mengetahui bahwa di negara-negara maju, sekitar 6% dari klaim asuransi biasanya mengandung unsur fraud.

Salah satu contoh kasus yang diungkap Pahala adalah klaim fiktif yang terjadi di fasilitas kesehatan. Ada klaim untuk operasi dua mata, padahal pasien hanya menjalani operasi pada satu mata. 

Ada juga klaim untuk fisioterapi yang seharusnya dilakukan 10 kali, tetapi setelah dicek, pasien hanya datang dua kali. "Ini adalah kasus-kasus nyata yang merugikan negara dan harus ditindak tegas," tegasnya.

Baca Juga:

Dampak Finansial Terhadap Perekonomian Nasional

Pahala juga menjelaskan dampak finansial dari fraud ini terhadap perekonomian nasional. Menurutnya, jika penerimaan iuran tidak sebanding dengan pengeluaran yang penuh dengan fraud, maka defisit akan terus terjadi, dan pelayanan kesehatan menjadi sulit diberikan. 

"Pemerintah berjanji untuk memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik melalui JKN. Namun, jika penerimaan iuran tidak sebanding dengan pengeluaran yang penuh dengan fraud, maka defisit akan terus terjadi, dan pelayanan kesehatan menjadi sulit diberikan," jelasnya.

Praktik fraud ini juga berdampak pada sektor swasta. Perusahaan asuransi swasta yang harus membayar klaim yang tidak seharusnya, akan menaikkan biaya premi asuransi.

Hal ini kemudian akan membebani perusahaan yang menyediakan asuransi bagi karyawannya, yang pada akhirnya akan berdampak pada margin perusahaan tersebut.

BPJS Kesehatan: Tantangan Menjaga Rasionalitas Klaim

BPJS Kesehatan selama ini telah menjadi tulang punggung sistem kesehatan nasional di Indonesia, dengan tujuan untuk melayani seluruh peserta dengan sebaik-baiknya. 

Namun, menurut Pahala, salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah menjaga rasionalitas klaim asuransi kesehatan agar tidak memberatkan keuangan negara.

Pahala menyebutkan bahwa dalam beberapa kasus, terdapat praktik "unnecessary treatment" atau perlakuan medis yang tidak perlu yang dilakukan oleh beberapa penyedia layanan kesehatan. 

Praktik ini, yang mencakup pemberian obat-obatan secara berlebihan hingga meresepkan suplemen yang sebenarnya tidak diperlukan, pada akhirnya membebani sistem asuransi. 

Hal ini menjadi perhatian serius karena klaim asuransi yang tidak rasional ini dapat memperburuk keuangan BPJS Kesehatan.

Untuk mengatasi hal ini, Pahala mengajak semua pihak untuk belajar dari negara tetangga seperti Singapura, yang telah berhasil mengatur sistem klaim asuransi kesehatan dengan baik. 

Di Singapura, bahkan sektor swasta diatur sedemikian rupa agar tidak ada dokter spesialis, bahkan yang bergelar profesor sekalipun, yang bisa memungut biaya di luar batas yang telah ditentukan. 

Ini adalah langkah penting untuk menjaga agar biaya layanan kesehatan tetap terjangkau dan rasional. 

"Sistem di Singapura sangat ketat. Bahkan dokter spesialis yang paling senior pun diatur agar tidak bisa memungut biaya yang terlalu tinggi. Ini adalah contoh yang bisa kita pelajari untuk diterapkan di Indonesia," kata Pahala.

Selain itu, Pahala juga menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan bukanlah asuransi dalam arti tradisional, melainkan merupakan skema gotong royong di mana seluruh masyarakat berkontribusi melalui iuran. 

Pemerintah juga memberikan subsidi melalui iuran bagi kelompok masyarakat miskin yang disebut sebagai penerima bantuan iuran (PBI). Pada tahun 2017-2018, pemerintah mengalokasikan sekitar 25 triliun rupiah untuk membayar iuran bagi sekitar 100 juta orang miskin di Indonesia. "Jadi, BPJS ini adalah bentuk tolong-menolong satu sama lain. Yang sehat membayarkan untuk yang sakit. Akibatnya, kalau iurannya kurang atau terlalu rendah, ya bisa terjadi defisit," jelas Pahala.

Pahala juga mengingatkan bahwa defisit yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sempat mengganggu operasional fasilitas kesehatan karena mereka tidak dapat menerima pembayaran tepat waktu. 

Namun, situasi tersebut kini mulai membaik dengan upaya keras yang telah dilakukan oleh BPJS Kesehatan dan pihak terkait. Meskipun demikian, Pahala menekankan bahwa fokus utama yang perlu diperhatikan adalah pada rasionalitas klaim. 

"Kalau kita tidak memperhatikan klaim yang tidak rasional ini, defisit bisa kembali terjadi, dan ini akan merugikan semua pihak," tegasnya.

Langkah KPK Selanjutnya dan Penanganan Fraud

Pahala menyebutkan bahwa KPK telah menemukan tiga rumah sakit besar yang terlibat dalam klaim fiktif. Meski begitu, dia percaya masih banyak kasus serupa yang belum terungkap. 

KPK akan terus melakukan konfirmasi lapangan untuk memeriksa keabsahan klaim-klaim tersebut. "Kami akan memastikan bahwa sistem harus diperbaiki agar tidak ada lagi celah untuk melakukan fraud. Kami juga akan mendorong penyelesaian panduan nasional untuk penanganan kesehatan agar semua dokter dan fasilitas kesehatan memiliki panduan yang sama," tegas Pahala.

Dalam upaya menangani fraud, Pahala menyebutkan pentingnya peran masyarakat. Kasus fraud dalam BPJS Kesehatan tidak hanya terungkap melalui audit dan verifikasi internal, tetapi juga melalui laporan dari masyarakat. 

Dengan aplikasi JKN Mobile, peserta BPJS dapat memantau riwayat medis mereka. Jika ada klaim yang tidak mereka kenali, mereka dapat segera melaporkannya. Pelaporan ini sangat penting dalam upaya menekan fraud dan memastikan bahwa klaim yang diajukan benar-benar sesuai dengan layanan yang diberikan.

Namun, fraud tidak selalu dalam skala besar. Ada juga praktik-praktik fraud kecil yang sering kali diabaikan, seperti rumah sakit yang meminta pasien untuk membayar sendiri biaya ambulans atau alat medis yang seharusnya ditanggung BPJS. Meskipun kecil, praktik ini sangat merugikan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan.

Pentingnya Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran

Selain investigasi dan pelaporan, KPK dan pihak terkait mendorong pentingnya Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) untuk meminimalkan fraud di sektor kesehatan. 

PNPK diharapkan dapat menetapkan standar perawatan yang konsisten di seluruh Indonesia. Saat ini, PNPK baru mencakup sekitar 50 penyakit, sementara targetnya adalah mencakup 75% dari penyakit esensial di Indonesia. Dengan panduan ini, diharapkan praktek-praktek "unnecessary treatment" dapat diminimalisir sehingga klaim asuransi yang diajukan sesuai dengan kebutuhan medis yang sebenarnya.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 30 Aug 2024 

Editor: Isman Wahyudi
Bagikan

Related Stories