Komunitas
Kondisi Iklim Tidak Menentu, Bagaimana Tradisi Pranata Mangsa Dijalankan Petani?
MAKASSARINSIGHT.com - Kondisi geografis yang beragam di Indonesia menyebabkan setiap daerah memiliki metode tersendiri dalam mengelola lahan pertaniannya agar lebih efektif dan efisien.
Seperti halnya Suku Batak mengenal konsep Parhalan, Suku Dayak di Kalimantan Barat menggunakan sistem kalender yang disebut Papan Katika, sedangkan masyarakat Bali menggunakan kalender berbasis ilmu astronomi yang disebut Wariga, dan di Jawa terdapat sistem pertanian yang dikenal sebagai Pranata Mangsa.
Pranata Mangsa yang dalam bahasa Jawa berarti penentuan musim, adalah sistem penanggalan terkait musim yang dipahami oleh suku Jawa, terutama oleh petani dan nelayan. Sistem ini juga dikenal oleh suku-suku lain di Indonesia, seperti suku Sunda dan suku Bali (dikenal sebagai Kerta Masa).
Baca Juga:
- Pj Gubernur Sulbar-Wali Kota Danny Gagas Program Sister City Makassar-Mamuju
- Makassar Wakili Sulsel pasa Ajang Utsawa Dharmagita di Solo, Wali Kota Danny: Kita Harap Menang
- Bertemu Duta Besar Portugal, Pj Gubernur Sulsel Jajaki Potensi Ekspor
Pranata Mangsa terdiri dari dua kata, Pranata yang berarti aturan, dan Mangsa yang berarti musim atau waktu. Dengan demikian, Pranata Mangsa adalah aturan waktu yang digunakan para petani untuk menentukan atau melaksanakan suatu pekerjaan.
Sejarah Pranata Mangsa
Sebelum adanya kalender Jawa, masyarakat menggunakan sistem penanggalan Saka Hindu yang didasarkan pada pergerakan matahari. Pada tahun Saka Hindu 1554, yang bertepatan dengan tahun 1633 Masehi, Raja Mataram Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengganti sistem penanggalan matahari dengan sistem penanggalan bulan, mirip dengan kalender Hijriah.
Perubahan ini diterapkan di seluruh pulau Jawa dan Madura, kecuali di Banten, Batavia, dan Banyuwangi (Blambangan). Hal ini terjadi karena ketiga daerah tersebut tidak berada di bawah kekuasaan Sultan Agung.
Selain itu, Pulau Bali dan Palembang, meskipun terpengaruh budaya Jawa, juga tidak mengadopsi kalender yang dibuat oleh Sultan Agung. Perubahan kalender Jawa dilakukan pada hari Jumat Legi, saat tahun baru Saka 1555, yang bertepatan dengan 1 Muharram 1043 H atau 8 Juli 1633 M.
Dilansir dari putatgede.kendalkab.go.id, pergantian sistem ini tidak mengubah hitungan tahun Saka 1555 yang sudah berjalan menjadi tahun pertama, melainkan melanjutkannya. Hitungan tahun ini masih berlaku hingga saat ini.
Pada tahun 1855 M, karena penanggalan bulan dianggap tidak memadai sebagai panduan bagi para petani dalam kegiatan bercocok tanam, bulan-bulan musim atau bulan-bulan matahari yang disebut sebagai pranata mangsa diperbaharui oleh Sri Paduka Mangkunegara IV.
Apakah Pranata Mangsa Masih Relevan Digunakan ?
Dalam era globalisasi, sistem pranata mangsa mulai ditinggalkan oleh para petani. Pemanasan global telah menyebabkan perubahan signifikan pada alam, membuat musim kemarau menjadi hujan dan sebaliknya.
Pemanasan global dianggap sebagai faktor utama mengapa pranata mangsa mulai dilupakan atau tidak lagi digunakan. Di era globalisasi ini, masyarakat didorong untuk lebih terbuka terhadap kondisi cuaca di Indonesia yang semakin tidak menentu.
Era modern dan globalisasi menuntut para petani untuk memiliki wawasan internasional. Hal ini terlihat dari penggunaan bibit impor, pupuk, dan metode tanam yang mulai mengadopsi praktik asing. Pengetahuan lokal (indegeneous knowledge) yang diwariskan dari nenek moyang mulai diabaikan.
Bagi petani dan nelayan, pranata mangsa merupakan panduan utama untuk menentukan waktu bercocok tanam dan masa panen ikan di laut.
Namun, sejak terjadinya perubahan iklim, pranata mangsa mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena dianggap sudah tidak relevan. Sebagai gantinya, mereka kini lebih mengandalkan layanan informasi meteorologi yang disediakan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Prakiraan cuaca dari BMKG, yang didasarkan pada analisis memanfaatkan perkembangan teknologi, kini tidak hanya dimanfaatkan oleh sektor pertanian dan perikanan, tetapi juga digunakan oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk untuk antisipasi bencana.
Terkait dengan pranata mangsa, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cilacap Wijonardi, mengakui sistem ini adalah produk nenek moyang yang didasarkan pada hasil pengamatan bertahun-tahun atau menggunakan ilmu titen, yaitu kepekaan terhadap tanda-tanda atau ciri-ciri alam.
Misalnya, dari pengamatan tersebut terbentuk kebiasaan seperti jika ada petir atau kilat, pasti akan ada guruh atau geluduk, dan jika mendung, pasti akan turun hujan.
Baca Juga:
- Topindoku Bersama Forsa Smalam Rilis Aplikasi Planta Forsa SMALAM untuk Pembelian Digital
- Ternyata Begini Keterangan Saksi Terkait Metode Desain And Build di Proyek Tol Japek II
- Ikuti Pola Ini untuk Efektif Kelola Utang agar Tidak Menumpuk
Sementara itu, prakiraan cuaca yang disajikan oleh BMKG menggunakan teknologi yang terukur dan ilmiah, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Ketika mereka masih menggunakan pranata mangsa, kesalahan dalam menentukan musim bisa terjadi. Kekeliruan prediksi dari pranata mangsa ini dapat menyebabkan kegagalan.
Oleh karena itu, diperlukan proses untuk mendorong semua aspek, termasuk mereka yang berkecimpung di bidang pertanian, agar dapat menyesuaikan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 25 May 2024