Makassar Kini
Jembatan Sae: Strategi Membangun dari Daerah Terpencil
Oleh: Suhartin
(Mahasiswa Magister Manajemen STIEM Bongaya Makassar)
Pemerataan pembangunan bukan sekadar isu teknis atau angka dalam rencana kerja pemerintah daerah. Ini adalah manifestasi dari keberpihakan strategis. Ketika Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, melalui Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK), melakukan peninjauan langsung ke Kecamatan Seko, Luwu Utara, pada 16–18 Juli 2025, hal itu tidak bisa dipandang sebagai agenda seremonial semata. Langkah ini mencerminkan proses environmental scanning dalam manajemen stratejik, yakni langkah awal untuk membaca tantangan dan merumuskan kebijakan pembangunan yang kontekstual.
Peninjauan yang dipimpin oleh Kepala UPTD BMBK Palopo bersama tim teknis, tidak hanya menyasar Jembatan Sae, tetapi juga jalur strategis Sabbang Selatan. Keduanya merupakan simpul penting dalam menghubungkan kawasan terluar Luwu Utara dengan wilayah lain, termasuk Sulawesi Barat. Peninjauan ini merupakan langkah awal Pemprov Sulsel melalui BMBK untuk memastikan tindak lanjut strategis ke depan. Sebab, salah satu program prioritas Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman dan Wakil Gubernur Fatmawati Rusdi adalah mendorong konektivitas antardaerah melalui peningkatan kualitas infrastruktur jalan.
Dalam pendekatan manajemen stratejik, infrastruktur semacam ini merupakan strategic enabler, fasilitator utama bagi pemerataan ekonomi dan distribusi layanan publik. Jembatan Sae tidak hanya berfungsi sebagai penghubung fisik, tetapi juga sebagai pengungkit (leverage) bagi integrasi wilayah, stabilitas sosial dan transformasi ekonomi lokal.
Namun, keberadaan infrastruktur fisik tanpa kesiapan pengelolaan risiko adalah kelemahan strategi jangka panjang. Maka wajar jika BMBK Sulsel mempertimbangkan kebutuhan alat berat yang siaga permanen di jalur Sabbang-Sae-Seko untuk mengantisipasi risiko longsor. Ini bagian dari risk mitigation strategy yang menjadi elemen penting dalam pelaksanaan manajemen pembangunan berbasis risiko.
Dukungan politik dari Anggota DPRD Sulsel daerah pemilihan Luwu Raya, Jasrum, menunjukkan adanya strategic alignment antara legislatif dan eksekutif dalam mendukung agenda konektivitas daerah terpencil. Harmonisasi semacam ini harus dijaga agar proses formulasi hingga eksekusi program pembangunan berjalan sinergis dan akuntabel. Sebab, dalam konteks manajemen stratejik, pelaksanaan strategi tanpa dukungan lintas pemangku kepentingan (stakeholder) berisiko mandek di tengah jalan.
Jembatan Sae memiliki fungsi strategis yang tidak bisa ditunda realisasinya. Ia menjadi bagian dari arus utama strategi pembangunan berbasis keadilan spasial. Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa peninjauan bukanlah titik akhir, melainkan awal dari komitmen berkelanjutan yang terukur dan dievaluasi secara berkala.
Dengan segala tantangan fiskal yang membatasi ruang gerak pembangunan, prioritas harus diarahkan pada proyek-proyek yang berdampak besar terhadap keterhubungan wilayah. Seko adalah representasi dari banyak wilayah terpencil lainnya yang selama ini berada di luar radar prioritas pembangunan provinsi. Pembangunan infrastruktur di kawasan seperti ini bukan semata kebutuhan teknis, tetapi keputusan strategis yang mencerminkan visi keadilan pembangunan.
Strategi pembangunan daerah terpencil tidak dapat berjalan setengah hati. Ia memerlukan keberanian, keseriusan, dan integrasi dari berbagai aktor. Jembatan Sae adalah contoh nyata bagaimana strategi dapat dimulai dari wilayah yang kerap luput dari sorotan, tetapi justru menyimpan nilai strategis dalam peta pembangunan Sulawesi Selatan secara keseluruhan.