Komunitas
Ini 5 Pola Pikir yang Bikin Kamu Terjebak di Era Digital
MAKASSARINSIGHT.com - Di era digital yang serba cepat, kebodohan tidak lagi dianggap aib. Justru sebaliknya, ia sering dirayakan, dipertontonkan, bahkan dijadikan identitas. Fenomena ini diamati banyak pemikir modern dan kini menjadi tantangan nyata. Hal itu terutama bagi generasi muda yang tumbuh dalam budaya instan.
Dalam bukunya The Death of Expertise, akademikus Tom Nichols menyoroti meningkatnya kepercayaan diri publik dalam membahas isu-isu kompleks tanpa dasar pengetahuan yang kuat.
Ia menyebut gejala ini sebagai bentuk penolakan terhadap otoritas keilmuan. Bukan karena masyarakat punya argumen tandingan, tetapi karena merasa punya hak untuk "tidak percaya".
Baca Juga:
- YTI Racing Team Bawa Pulang Gelar Juara di Kejurnas MTB 2025 Yogyakarta
- Hasil Penelitian: Bengong Ternyata Punya Manfaat untuk Otak
- BRI Fasilitasi Pemberdayaan Koperasi Desa Merah Putih via AgenBRILink
Hal serupa juga disinggung Neil Postman dalam Amusing Ourselves to Death. Ia menggambarkan bagaimana hiburan telah mengikis kedalaman berpikir masyarakat. Di era serbavisual, anak muda lebih betah scrolling media sosial daripada membaca buku, meski akses terhadap ilmu terbuka lebar.
Dihimpun TrenAsia dari berbagai sumber, berikut lima sinyal kebodohan mulai menjadi “gaya hidup” di era digital.
1. Opini Dianggap Sama Sahnya dengan Fakta
Salah satu gejala yang mengkhawatirkan adalah ketika opini pribadi dianggap setara dengan fakta ilmiah. Contohnya, perdebatan soal vaksin yang sering kali menempatkan pendapat dari media sosial selevel dengan penjelasan dokter. Ini bukan demokrasi berpikir, melainkan ilusi kesetaraan intelektual.
2. Ingin Cepat Tahu, Tapi Menolak Proses
Budaya instan menjadikan banyak orang hanya ingin hasil akhir. Sejarah ingin dipahami dalam satu video TikTok, konsep ekonomi dimengerti dari satu utas Twitter. Kesabaran untuk memahami, membaca, dan berpikir mendalam perlahan hilang. Padahal, pemahaman sejati hanya bisa dibangun lewat proses.
3. Ketidaktahuan Dijadikan Gaya Hidup
Ucapan seperti “gue orangnya simpel, enggak suka mikir ribet” sering terdengar sebagai bentuk kebanggaan. Ini bukan kerendahan hati, tapi bisa jadi bentuk normalisasi ketidaktahuan. Dulu, orang malu kalau tidak tahu. Sekarang, mengakui tidak tahu dianggap keren, meski tak diikuti keinginan untuk belajar.
4. Yang Dangkal Viral, yang Dalam Diabaikan
Konten edukatif yang mengajak berpikir justru sering dianggap membosankan. Sementara video singkat, ramai, dan tanpa makna mendalam lebih mudah viral. Ini bukan sekadar soal algoritma, tapi juga soal selera kolektif. Kita terbiasa dengan kecepatan, hingga yang lambat dianggap tidak relevan.
5. Populer Dianggap Benar
Di media sosial, apa yang banyak dibagikan cenderung dianggap valid. Padahal, banyaknya suara belum tentu menunjukkan kebenaran. Ketika semua hanya menyalin opini mayoritas tanpa berpikir kritis, inilah yang disebut kebodohan kolektif. Ini jauh lebih berbahaya karena sulit disadari.
Baca Juga:
- Pemkot Makassar Bongkar 16 Titik Reklame Ilegal, Bapenda Janji Tindak Tegas dan Berkelanjutan
- BRI Jadi Pelopor Sustainable Finance di Indonesia, Catat Portofolio Hingga Rp796 Triliun
- Bank Syariah Matahari, BPRS Baru Milik Muhammadiyah
Pintar Butuh Keberanian dan Kesabaran
Di tengah banjir informasi dan budaya instan, menjadi pintar bukan soal tahu lebih banyak, tapi tentang kemauan untuk berpikir lebih dalam. Proses ini tidak cepat, tidak selalu populer, dan kadang membuat kita merasa berbeda.
Pernah merasa ragu mengungkapkan pendapat karena berbeda dari mayoritas? Atau merasa “enggak nyambung” di tengah obrolan yang dangkal? Bisa jadi itu pertanda kamu masih waras. Mari rawat keberanian untuk berpikir. Sebab justru di era seperti sekarang, keberanian itu sangat langka
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Chrisna Chanis Cara pada 20 Jul 2025