Makassar Kini
Imbas Edaran BPH Migas, Aktivitas Pengangkutan Logistik di Makassar Lumpuh
Aktivitas pengangkutan logistik yang menggunakan truk tronton atau trailer di Kota Makassar lumpuh total pada Senin (23/9/2019). Kondisi tersebut terjadi seiring dengan aksi mogok massal ratusan pengemudi truk tronton yang melayangkan protes keras terhadap SE BPH Migas yang pada salah satu poinnya melarang penggunaan solar bersubsidi pada truk dengan klasifikasi enam roda ke atas.
Adapun aksi mogok para pengemudi itu dipusatkan di depan Terminal Petikemas Makassar (TPM) dengan memarkirkan truk tronton tanpa muatan sebagai bentuk protes keras atas edaran BPH Migas. Menurut Koordinator Aksi Ghalib Al Idrus, keputusan para pengemudi truk untuk melakukan mogok operasional ini merupakan puncak kegelisahan lantaran tuntutan tertulis agar ada peninjauan kembali SE BPH Migas, diabaikan oleh otoritas terkait.
"Sesuai dengan tuntutan kami agar keputusan tersebut ditinjau ulang belum ditanggapi, maka kami semua melakukan mogok mengangkut logistik," ujarnya di sela-sela aksi.
Dia menguraikan, aksi mogok yang dilakukan oleh para pengemudi ini karena sudah hampir dua pekan tidak lagi diberikan solar bersubsidi dan diharuskan untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) varian dexlite dengan harga jauh lebih tinggi.
Aturan yang dikeluarkan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dinilainya tidak berpihak pada rakyat kecil karena aturan hanya diperuntukkan bagi truk yang bertonase tinggi atau truk di atas enam roda. Sedangkan mobil-mobil mewah dan truk enam roda masih diberikan biosolar bersubsidi, walaupun dibatasi jumlah liternya setiap hari untuk satu truk.
"Kami ini sangat vital karena mulai dari kebutuhan pokok hingga kebutuhan lainnya untuk ekspor, untuk masyarakat kecil itu yang kami angkut tiap hari. Kami yang bersentuhan langsung dengan rakyat malah dilarang menggunakan biosolar bersubsidi, keadilannya dimana?," katanya.
Kebijakan BPH Migas yang dikeluarkan itu berdampak kepada biaya logistik tinggi (high cost logistic) dan akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Kebijakan itu juga akan mempengaruhi daya saing komoditas lokal Sulawesi Selatan untuk tujuan ekspor serta mempengaruhi kelancaran arus distribusi barang dan logistik.
Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Makassar Sumirlan mengatakan, surat edaran oleh BPH Migas sudah mulai terasa selama lima hari terakhir dengan tidak dilayaninya pembelian biosolar. "Sudah lima hari ini kami merasakan dampaknya karena tidak terlayani.
Para sopir menjerit dan terpaksa kami mengeluarkan biaya lebih dulu, padahal kami melayani masyarakat dan menjaga agar tidak terjadi inflasi," katanya. Harga biosolar yang biasanya dipakai Rp 5.400 per liter. Jika subsidi dicabut atau dipaksakan untuk menggunakan solar dex tanpa subsidi harganya Rp 10.400 per liter, maka ada kenaikan hingga 100%.
"Cost-nya hingga 100 persen. Beberapa hari ini banyak pengusaha menjerit dengan keputusan BPH Migas dan jika ini dibiarkan berlarut-larut, maka dampaknya pasti sistemik. Kami juga akan mengambil kebijakan jika pemerintah tidak memberikan solusi dalam dua hari ini," katanya.
Hal sama juga disampaikan Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI/ILFA) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar) Syaifuddin Ipho. Menurut dia, surat edaran dari BPH Migas ancam kenaikan kebutuhan pokok di Sulsel.
"Saat ini kami sedang membahas beberapa upaya-upaya agar tidak banyak yang dirugikan dengan surat edaran BPH Migas itu," ujar Syaifuddin.
Surat edaran yang sudah dikeluarkan BPH Migas beberapa waktu lalu itu berdampak pada tidak terlayaninya kendaraan pengangkut bahan-bahan logistik karena tidak adanya bahan bakar minyak (BBM) jenis solar subsidi. Ipho menyatakan, surat edaran tersebut idealnya masih bersifat pemberitahuan.
Tetapi yang terjadi di wilayah Sulawesi, surat edaran tersebut berdampak pada tidak terlayaninya kendaraan-kendaraan pengangkut logistik di sentra pengisian bahan bakar umum (SPBU).
"Jumlah truk di Sulsel sebanyak 1.800 dan semuanya adalah truk khusus pengangkut kebutuhan pokok, untuk kebutuhan ekspor. Semuanya mogok mengangkut," katanya. BPH Migas telah menerbitkan Surat Edaran tentang Pengendalian Kuota Jenis BBM Tertentu 2019 yang ditembuskan ke Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Menteri BUMN, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN, gubernur dan bupati/wali kota.
Dalam surat edaran tersebut, kendaraan yang tidak diizinkan lagi menggunakan solar subsidi yakni kendaraan bermotor pengangkutan perkebunan, kehutanan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam buah dalam kondisi bermuatan tidak bermuatan. Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa menyebutkan ada 10 provinsi yang mengalami konsumsi di atas kuota yang ditetapkan.
Di antara 10 provinsi tersebut patut diduga ada penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan perkebunan dan pertambangan. Misalnya saja, Kalimantan Timur sebesar 124,6% rerata per bulannya, Kepulauan Riau 119,9%, Lampung 113%, Riau 111%, Sulawesi Tenggara 109,4%, Sulawesi Barat 109,2%, Sumatera Barat 108,8%, Sulawesi Selatan 108,8%, Jawa Timur 108,7% dan Bangka Belitung 108,3%.