Ekonomi & Bisnis
Gara-gara Gagal Bayar Utang, Ini 6 Negara yang Pernah Bangkrut
MAKASSARINSIGHT.com – Kebangkrutan negara terjadi ketika pemerintah gagal membayar utang dan bunga pada saat jatuh tempo. Kegagalan membayar utang kepada kreditor bisa disertai dengan pengumuman resmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa pemerintah tidak akan membayar utang yang belum dibayar, atau kadang-kadang dapat terjadi tanpa pengumuman resmi apa pun.
Hampir separuh negara di benua Eropa, 40% negara di Afrika, dan 30% negara di Asia menyatakan bangkrut selama dua abad sebelumnya. Ekuador telah menyatakan dirinya bangkrut paling sering di antara negara berdaulat lainnya. Brasil, Meksiko, Uruguay, Cile, Kosta Rika, Spanyol, dan Rusia telah menyatakan bangkrut sembilan kali selama periode yang sama.
Jerman telah mengalami kebangkrutan 8 kali dalam dua setengah tahun, sehingga menjadi yang terdepan di antara negara-negara ekonomi utama yang bangkrut, diikuti oleh AS 5 kali, China dan Inggris 4 kali, dan Jepang dua kali.
Baca Juga:
- Jadi Agen Mitra UMi BRI di Merauke, Bantu Siti Meningkatkan Ekonomi Keluarga
- Harus Tahu! Sejarah Pilkada Serentak di Indonesia dari Masa ke Masa
- PWI Gowa Ajak Warga Sukseskan Pilkada yang Aman dan Partisipatif
Banyak negara yang memiliki utang namun tidak mampu melunasinya. Akibatnya, perekonomian mereka runtuh dan negara tersebut mengalami kebangkrutan. Dilansir dari The Business Standard, berikut negara yang bangkrut karena utang.
1. Islandia
Islandia bangkrut pada tahun 2008 dengan utang sebesar US$85 miliar ketika pasar kredit global mengering menyusul kejatuhan sektor keuangan AS. Gelembung perbankan telah tumbuh begitu besar sehingga pada tahun 2008, sistem perbankan memiliki utang yang setara dengan 10 kali PDB Islandia.
Ketika tiga bank terbesar bangkrut dalam apa yang merupakan keruntuhan perbankan sistematis terbesar dalam sejarah, negara itu jatuh ke dalam depresi, dan ekonominya menyusut 10% selama dua tahun berikutnya.
Dikutip dari Policy Forum, Islandia mulai keluar dari daftar negara bangkrut setelah menerima bailout dari IMF pada 2009. Pemerintah juga mengambil langkah dengan menaikkan pajak (terutama untuk pendapatan yang lebih tinggi), mengurangi anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan, serta memangkas gaji di sektor publik.
Menariknya, Islandia telah melakukan pemulihan yang sejak krisis, dengan pengangguran tetap stabil di angka 4%, dan pada tahun 2014, ekonominya 1% lebih besar daripada sebelum tahun 2008.
2. Argentina
Argentina dinyatakan bangkrut pada tahun 2001 dengan utang sebesar US$145 miliar karena kebijakan pemerintah mematok peso terhadap Dolar AS, utang publik yang tidak terkendali, dan korupsi yang merajalela menyebabkan negara tersebut tidak mampu mengatasi sejumlah guncangan ekonomi.
Pada tahun 2001, pengangguran mencapai lebih dari 20%, dan Argentina dinyatakan gagal membayar utang terbesar US$100 miliar terbesar dalam sejarah.
Krisis ekonomi yang begitu parah di Argentina membuat Negeri Tango berganti presiden empat kali antara akhir 2001 hingga awal 2002. Salah satu presidennya, Fernando de la Rua, bahkan melarikan diri menggunakan helikopter.
Restrukturisasi utang Argentina dimulai pada Januari 2005 dengan pemegang obligasi yang terdampak. Sebagian besar obligasi Argentina selanjutnya didasarkan pada obligasi yang terkait dengan PDB, melibatkan investor baik domestik maupun asing.
Venezuela menjadi salah satu investor tunggal terbesar di obligasi Argentina, membeli lebih dari US$5 miliar obligasi yang telah direstrukturisasi antara 2005 hingga 2007. Selama 2001-2006, Venezuela menjadi pelunas tunggal terbesar utang Argentina.
Dikutip dari Deutsche Welle, utang Argentina dilunasi pada masa pemerintahan Presiden Mauricio Macri (2015-2019), memungkinkan Argentina untuk kembali mengakses pasar modal global.
3. Rusia
Sepanjang sejarah, Rusia telah menyatakan diri bangkrut 9 kali. Terakhir pada tahun 1998 dengan utang sebesar US$17 miliar. Dampak krisis keuangan Asia dan penurunan permintaan minyak mulai menekan ekonomi Rusia yang telah menimbulkan utang internasional yang sangat besar dan mengalami penurunan produktivitas nasional.
Krisis Rubel tahun 1998 yang terjadi mengakibatkan pasar saham Rusia kehilangan 75% nilainya dan inflasi mencapai 80% karena investor meninggalkan pasar. Rusia hanya mampu membayar kurang dari US$10 miliar dari US$17 miliar utangnya kepada Dana Moneter Internasional. Ekonomi Rusia juga berkontraksi 5,3% pada tahun 1998 karena pengangguran mencapai 13%.
Dampak internasional dari krisis keuangan Rusia dikenal sebagai “Flu Rusia,” menyebar luas dan mempengaruhi pasar di AS, negara-negara Asia, Baltik, serta Eropa. Setelah itu, Bank Dunia mengungkapkan pinjaman sebesar US$5 miliar dari Bank Dunia dan IMF dicuri pada malam terjadinya krisis keuangan Rusia.
Upaya Rusia keluar dari daftar negara bangkrut dimulai dengan restrukturisasi utang pada 1999 dan 2000. Berdasarkan informasi dari Rabobank, pada Juli 1999 IMF setuju untuk memberikan dana sebesar US$4,5 miliar guna mengembalikan Rusia ke pasar keuangan internasional.
Berkat depresiasi rubel yang tajam pada 1999 dan kenaikan harga minyak dunia, ekonomi Rusia dapat pulih dengan cepat. Perekonomian Rusia tumbuh 6,4% pada 1999, 10% pada 2000, dan 5,3% pada 2001. Sementara, tingkat inflasi turun dari 85,7% pada 1999 menjadi 20,8% pada 2001. Tingkat pengangguran yang sebelumnya mencapai 13% pada 1998 dan 1999, turun menjadi 9% pada 2001.
4. Meksiko
Meksiko gagal membayar pinjaman negara senilai US$80 miliar pada tahun 1982. Utang publik tumbuh dengan cepat akibat program ekspansi fiskal besar-besaran pemerintahan Luis Echeverria.
Setelah krisis minyak pada akhir tahun 1970-an dan memburuknya kondisi ekonomi, peso Meksiko terdepresiasi 50%, tetapi pemerintah masih tidak mampu membayar utangnya, menyebabkan Meksiko gagal membayar pinjaman AS dan IMF.
Selama lima tahun berikutnya, PDB Meksiko turun 11%dan memicu Krisis Utang Amerika Latin, yang menyebabkan negara-negara di seluruh kawasan tidak mampu membayar utang luar negerinya.
Meksiko akhirnya menerima bantuan melalui dana bailout dari IMF, Kanada, beberapa negara Amerika Latin, serta pinjaman sebesar US$50 miliar yang diberikan oleh Presiden AS saat itu, Bill Clinton. Bantuan ini berhasil menyelamatkan Meksiko dan sebagian besar i Amerika Latin dari potensi krisis keuangan yang lebih parah.
5. Libanon
Krisis Lebanon dimulai pada akhir tahun 2019 setelah pemerintah mengumumkan usulan pajak baru. Langkah-langkah tersebut memicu kemarahan yang membara terhadap kelas penguasa dan protes massa selama berbulan-bulan. Kontrol modal yang tidak teratur diberlakukan, sehingga masyarakat kehilangan tabungan mereka karena mata uang mulai merosot.
Pada bulan Maret 2020, Lebanon gagal membayar utangnya yang sangat besar, yang saat itu nilainya sekitar US$90 miliar atau 170% dari PDB—salah satu yang tertinggi di dunia. Pada bulan Juni 2021, ketika mata uangnya telah kehilangan hampir 90% nilainya, Bank Dunia mengatakan krisis tersebut merupakan salah satu yang terburuk yang pernah dialami dunia dalam lebih dari 150 tahun.
Pada bulan April 2020, Wakil Perdana Menteri pemerintah Lebanon Saadeh al-Shami mengumumkan kebangkrutan negara dan Bank Sentral Lebanon. Kerugian tersebut dibebankan kepada negara, Banque du Liban, bank, dan deposan.
Baca Juga:
- Plt Camat Ujung Pandang Ajak Warga Jaga Ketertiban Jelang Pilkada Serentak 2024
- Nobar Timnas Bareng Warga, Seto Bicara Tentang Pembangunan Stadion
- Inti Global Laksana dan Banyan Tumbuh Lestari Bahas Pembentukan Koperasi dengan 15 Desa Binaan
6. Sri Lanka
Sri Lanka merupakan negara yang bangkrut karena gagal mengembalikan pinjaman luar negeri. Perdana Menteri baru Lanka Ranil Wickremesinghe mengakui kebangkrutan dan mengatakan kepada parlemen bahwa krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Karena tidak mampu membayar utang luar negerinya sebesar US$51 miliar, pemerintah menyatakan gagal bayar utang dan sedang bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional untuk kemungkinan dana talangan (bailout).
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 24 Nov 2024