Biaya Akreditas Mahal, Aptisi Ajak Kampus Swasta se Indonesia Tuntut Pemerintah LAM PT

Ilustrasi kampus. (INT)

KETUA Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) , Prof Budi Jatmiko mengajak seluruh civitas akademika kampus swasta se-Indonesia untuk datang ke Jakarta pada 27-29 September 2022 mendatang. 

Sebagai organisasi yang mewadahi seluruh kampus swasta di Indonesia, Aptisi bakal memfasilitasi insan kampus swasta untuk menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah. 

Salah satu grand isu yang akan disampaikan dalam aksi demonstrasi tersebut adalah pembubaran Lembaga Akreditasi Mandiri – Perguruan Tinggi (LAM-PT). 

“Dari 2021 mereka sudah menginginkan (demo) semua. (Tapi) saya coba dulu pendekatan dengan semua pihak. Menyurati menteri, dirjen juga DPR. Kita, sudah bersurat kepada Presiden dan menteri tapi tidak ditanggapi. Ini yang membikin teman-teman PTS geram, ” kata prof Budi dalam video YouTube yang diunggah di kanal Aptisi, Kamis (16/9/2022). 

Dia melanjutkan, saat ini kondisi PTS di Indonesia sedang kesulitan membiayai kampus mereka. Apalagi sejak pamdemi lebih dari 50 persen mahasiswa mengajukan cuti. 

“Kondisi kita 7 tahun mahasiswa menurun, 3 tahun terkahir covid menjadikan PTS sulit sekali untuk memiliki kemampuan membiayai kampusnya. Dan mereka sekarang harus dibebankan dengan biaya membakar kertas yang sangat mahal (dalam proses akreditasi),”jelasnya. 

Prof Budi mengatakan Aptisi sudah memberikan sejumlah solusi diantaranya menggunakan sistem blockchain, memperluas PDPT sehingga Perguruan tinggi bisa mengunggah aktivitasnya di sana. Sehingga LAM atau pun BAN PT bisa langsung mengunduh untuk diperiksa. 

“Yang ketiga adalah menggabungkan blockchain dan PDPT sehingga biaya untuk akreditasi LAM PT bisa lebih murah,” katanya. 

Selain itu Prof Budi berharap agar durasi hasil Akreditasi LAM bisa diperpanjang karena kondisi masyarakat perguruan tinggi sedang dalam masa kesulitan pembiayaan. 

Diketahui LAM memungut uang tidak sedikit dari perguruan tinggi. Bahkan sejumlah LAM memungut biaya ke perguruan tinggi dengan nilai fantastis, mencapai Rp80 juta. 

“Saat LAM lahir sampai tahun kedua itu tidak bayar, tapi di tahun ketiga, kami harus bayar Rp70 juta sampai Rp80 juta dan yang jadi masalah ini tidak pernah diaudit dan orangnya itu-itu saja,” kata Budi.

Editor: Isman Wahyudi
Isman Wahyudi

Isman Wahyudi

Lihat semua artikel

Related Stories