Komunitas
Biar Paham, Ini Perbedaan Metode 1 Syawal Antara Muhammadiyah dan NU
MAKASSARINSIGHT.com – Di Indonesia, penentuan Idulfitri sering menjadi topik pembahasan di kalangan masyarakat. 1 Syawal menandai perayaan Idulfitri bagi umat Islam sekaligus berakhirnya bulan suci Ramadan.
Salah satu faktor yang memengaruhi adalah perbedaan dalam menetapkan 1 Ramadan dan 1 Syawal, yang disebabkan oleh perbedaan metode serta kriteria dalam menentukan hilal.
Di Indonesia, penetapan 1 Syawal oleh organisasi keagamaan besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) terkadang berbeda, namun ada kalanya juga sama.
Baca Juga:
- Unjuk Gigi di Natural Product Expo West 2025, UMKM Binaan BRI Siap Mendunia
- BRI Siap Bagikan Dividen Rp51,73 Triliun dan Buyback Rp3 Triliun
- DPR Pertanyakan Kinerja dan Kontribusi PPKGBK
Adapun, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hilal diartikan sebagai bulan sabit. Dalam kajian astronomi, hilal merujuk pada bulan sabit muda pertama yang terbentuk setelah fase konjungsi atau bulan baru.
Secara ilmiah, terdapat dua pendekatan dalam menentukan hilal, yaitu metode hisab dan rukyatul hilal. Perbedaan dalam penentuan hilal terjadi karena adanya berbagai riwayat hadis yang menjadi pedoman dalam mengamati kemunculan bulan sabit pertama.
Setiap metode memiliki dasar serta proses perhitungan yang khas. Perbedaan dalam metode ini sering kali menyebabkan perbedaan dalam penetapan awal puasa dan Hari Raya di berbagai negara. Meski demikian, keduanya didasarkan pada prinsip ilmiah yang telah diwariskan secara turun-temurun. Lalu, bagaimana cara melihat hilal?
1. Metode Hisab
Dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah dijelaskan bahwa istilah hisab berasal dari bahasa Arab al-hisab, yang berarti perhitungan atau pemeriksaan. Dalam konteks fikih, hisab berkaitan dengan penetapan waktu-waktu ibadah.
Hisab digunakan untuk menghitung waktu dan menentukan arah dalam rangka pelaksanaan ibadah, seperti menetapkan jadwal salat, awal puasa, Idulfitri, pelaksanaan haji, serta waktu terjadinya gerhana untuk menjalankan salat gerhana.
Dalam metode hisab, kriteria yang digunakan adalah terpenuhinya ijtimak, yaitu ketika bulan dan matahari berada sejajar dalam satu garis ekliptika. Ijtimak harus terjadi sebelum atau saat matahari terbenam, dengan posisi bulan sudah berada di atas ufuk.
Metode hisab telah banyak diterapkan oleh berbagai organisasi Islam, termasuk Muhammadiyah, karena dianggap lebih praktis. Keunggulan metode ini terletak pada ketidakbergantungannya terhadap kondisi cuaca atau keterlihatan bulan sabit.
2. Metode Rukyatul Hilal
Metode rukyatul hilal dalam menentukan awal bulan dalam kalender Hijriah telah dipercaya sejak Islam pertama kali masuk ke Nusantara.
Pada masa itu, rukyatul hilal dilakukan secara langsung dengan mata telanjang. Seiring dengan kemajuan peradaban, metode ini secara bertahap mulai memanfaatkan berbagai teknologi dan peralatan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan.
Dilansir dari nu.or.id, rukyatul hilal adalah proses pengamatan atau observasi terhadap hilal, yaitu bulan sabit tipis yang muncul di ketinggian rendah di atas ufuk barat setelah matahari terbenam (ghurub) dan dapat dilihat secara langsung.
Cara pengamatan hilal terbagi menjadi tiga cara, yaitu dengan mata telanjang, menggunakan alat optik seperti teleskop, serta teleskop yang dilengkapi sensor atau kamera untuk pemantauan yang lebih canggih.
Berdasarkan ketiga metode tersebut, keterlihatan hilal juga diklasifikasikan menjadi tiga kategori, mulai dari terlihat langsung dengan mata telanjang (bil fi’li), terlihat dengan teleskop, dan terlihat melalui citra digital.
Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi keagamaan yang menerapkan metode rukyatul hilal. Meski demikian, NU tidak sepenuhnya meninggalkan hisab atau ilmu falak. Sebaliknya, hisab dianggap sebagai alat bantu dalam pelaksanaan rukyatul hilal, karena pengamatan hilal yang akurat memerlukan perhitungan hisab yang tepat.
Oleh karena itu, NU menerapkan sistem hisab jama’i, yaitu metode yang mengakomodasi berbagai pendekatan hisab yang berkembang dalam organisasi ini.
Idulfitri 2025 Muhammadiyah dan Pemerintah Diperediksi Sama
Dilansir dari suaramuhammadiyah.id, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah resmi menetapkan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1446 Hijriah berdasarkan metode hisab hakiki wujudul hilal, yang menjadi acuan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
Baca Juga:
- BRI UMKM EXPO(RT) 2025 Jadi Ajang Seni Ukir Jepara Tembus Pasar Global
- BRI Berkomitmen pada ESG, Ciptakan Dampak Positif bagi Lingkungan dan Sosial
- BRI Ingatkan Bahaya Smishing, Lindungi Data Perbankan Anda Sekarang!
Berdasarkan perhitungan tersebut, Hari Raya Idulfitri 1 Syawal 1446 H akan jatuh pada Senin, 31 Maret 2025. Diperkirakan awal Ramadan dan Idulfitri tahun ini akan bertepatan dengan penetapan pemerintah, sehingga tidak ada perbedaan dalam perayaan Lebaran.
Ijtimak menjelang Syawal 1446 H terjadi pada Sabtu, 29 Maret 2025, pukul 17.59.51 WIB. Saat matahari terbenam di Yogyakarta, hilal belum terlihat karena masih berada di bawah ufuk pada ketinggian -01° 59' 04". Oleh karena itu, bulan Ramadan disempurnakan menjadi 30 hari (istikmal), dan 1 Syawal 1446 H ditetapkan jatuh pada Senin, 31 Maret 2025.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 25 Mar 2025