Berikut Daftar Dampak Menyedihkan dan Kejanggalan Penambangan Pasir Laut Sulsel

Nelayan

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut perusahaan pemegang konsesi penambangan pasir laut di wilayah Spermonde, Sulawesi Selatan, melanggar aturan. Sebelum beraktivitas, tidak pernah ada sosialisasi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) kepada masyarakat nelayan setempat.

Direktur Eksekutif WALHI Sulsel Muhammad Al Amin menyebit blok kepulauan Spermonde meliputi perairan Galesong Raya di Kabupaten Takalar dan perairan Pulau Kodingareng, Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar. Masyarakat nelayan di dua lokasi itu kini menderita dampak penambangan pasir laut untuk proyek reklamasi Makassar New Port.

 

"Dan itu diakui sendiri oleh Dinas Pengelolan Lingkungan Hidup bahwa mereka (perusahaan pemagang konsesi) tidak melakukan sosialisasi dan konsultasi, khususnya ke masyarakat nelayan Kodingareng," kata Amindilansir Rabu (23/9/2020).

 

Menurut Amin, selama ini masyarakat hanya mengetahui aktivitas penambangan pasir laut oleh perusahaan asal Belanda, PT Royal Boskalis. Padahal, perusahaan itu bertindak sebagai kontraktor penyedia jasa penambangan pasir. Konsesi penambangan, kata Amin, dipegang oleh dua perusahaan yang dimiliki orang dekat pejabat di lingkup Pemprov Sulsel.

 

Amin menyayangkan, sebab Amdal seharusnya disosialisasikan lebih dulu dengan melibatkan banyak pihak. Termasuk nelayan terdekat yang ruang hidupnya masuk dalam area penambangan pasir.

 

Soal kewajiban sosialisasi dan konsultasi diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Pemerintah bersama perusahaan diduga melanggar PP tersebut.


"Sampai kapan pun masyarakat nelayan akan berjuang menolak tambang pasir laut ini," ucapnya.

Juru bicara Aliansi Selamat Pesisir (ASP) Muhammad Ferdhiyadi mengatakan wilayah penambangan pasir hanya berjarak 8 mil dari Pulau Kodingareng. Wilayah tersebut menjadi sumber utama pendapatan nelayan penangkap ikan tenggiri.

 

"Wilayah masuk dalam wilayah komoditi utama nelayan Kodingareng sejak dulu, sejak turun temurun. Itu yang menjadi masalah," kata Ferdhi.

 

Di dalam dokumen Amdal perusahaan, Ferdhi melanjutkan, nelayan Pulau Kodingareng tidak dimasukkan dalam kategori masyarakat penerima dampak. Izin perusahaan terbit tahun 2019 lalu.

 

"Tim penyusun Amdal itu seharusnya sekolah lagi. Masyarakat sudah sampaikan itu langsung waktu seminar daringnya," dia mengungkapkan.

 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan Andi Hasdullah, saat dikonfirmasi IDN Times via Whatsapp, Senin (21/9/2020), menegaskan kajian Amdal tambang pasir yang berlokasi di Galesong Utara Kabupaten Takalar itu telah diproses sesuai dengan regulasi dan prosedur. Amdal terbit berdasarkan kajian teknis oleh Tim Komisi Amdal Provinsi Sulsel.

 

"Amdal ini sebagai salah satu dasar diterbitkannya izin lingkungan tambang pasir untuk penyelesaian pembangunan reklamasi Makassar New Port (MNP)," kata Hasdullah.

 

Lokasi tambang tersebut, kata dia, jaraknya cukup jauh dari Pulau Kodingareng yakni sekitar 13 kilometer. Hasdullah menyebut lokasi tambang ini juga telah sesuai kajian AMDAL, dan dinilai tidak berdampak negatif.

 

"Baik terhadap biota ekologi laut maupun aktivitas penangkapan ikan oleh para nelayan," kata Hasdullah.

 

Terkait masyarakat Sangkarang yang tidak dilibatkan dalam konsultasi publik, Hasdullah membenarkan. Hal itu dikarenakan atas penilaian KPA, wilayah itu tidak masuk wilayah studi.

 

"Karena hasil kajian AMDAL tidak memberikan indikasi dampak di wilayah Kodingareng walau pun dari pihak pelindo dan mitranya telah menyediakan bantuan paket pemberdayaan masyarakat dan CSR (Corporate Social Responsibility) untuk nelayan Kodingareng," kata Hasdullah.

 

Konsultasi publik AMDAL tambang pasir itu, kata Hasdullah, dilakukan di tujuh desa di Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Ketujuh desa inilah yang ditetapkan sebagai wilayah studi karena wilayah itu memiliki potensi berdampak khususnya terhadap keleluasaan aktivitas para nelayan di wilayah tersebut.

 

Hasdullah menyebut pengelolaan dampak tambang pasir di Galesong Utara itu sudah terkendali dan juga sudah memenuhi Perda Nomor 2 Tahun 2019 tentang Zonasi wilayah tambang wajib berada di luar 8 mil dari bibir pantai terluar.

 

"Lokasi quarry (galian) sekali lagi telah mengikuti Perda Zonasi itu yang mengatur lokasi tambang pasir haru di luar 8 mil dari bibir pantai dalam menihilkan dampak negatif itu juga melalui kajian akademik dan dibahas dalam proses waktu yang panjang baru dapat disahkan," kata Hasdullah.

 

Bagikan

Related Stories