Banyak Insentif dari Pemerintah tapi Penjualan Mobil Listrik Masih Rendah, Ini Penyebabnya

Baterai untuk mobil Hyundai Electrik di generasi terbarunya nanti dipamerkan pada pameran Otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2021 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Serpong, Tangerang. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia (trenasia.com)

JAKARTA - Sudah banyak privilese yang diberikan pemerintah baik kepada manufaktur, jasa keuangan hingga konsumen sendiri untuk mobil listrik. Nyatanya meski sudah diguyur belasan insentif, tak lantas membuat petrolhead, julukan bagi pengguna mobil berbahan bakar fosil (internal combustion engine/ ICE), lengsung beralih ke mobil listrik. Apa yang salah?

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara menyatakan alasan utama penjualan mobil listrik baik tipe hibrida (HEV), plug in hibrida (PHEV) maupun baterai (BEV) belum begitu diterima di masyarakat meski banjir insentif adalah daya beli konsumen Indonesia.

Menurut kajian asosiasi, penerimaan pasar konsumen Indonesia  untuk kendaraan listrik sangat tergantung dengan harga. Untuk roda empat, kisaran harga yang masuk adalah di bawah Rp300 juta, dengan pertimbangan GDP per capita US$4.291,8 setara Rp66 juta (asumsi kurs Rp15.381 perdolar AS) atau penghasilan masyarakat sekitar Rp5,5 juta per bulan. Sementara harga pasaran saat ini masih jauh di atas level tersebut.

Jika dibandingkan dengan negara lain di dunia dengan level pendapatan per kapita Indonesia, konsumsi mobil listrik Indonesia juga tidak tertinggal jauh. Sebut saja Thailand yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, penjualan mobil listrik di sana masih sekitar 3.000 hingga 4.000 unit per tahun, tidak jauh berbeda dengan Indonesia.

Sementara negara maju seperti AS dan Australia juga setali tiga uang kondisinya. Di Australia, penjualan mobil listrik tertinggi mencapai 20.000 unit pertahun, namun masih sangat kecil dibanding pangsa pasarnya sebesar 1,2 juta unit pertahun.

Sementara Indonesia dengan pangsa pasar yang sama sekitar 1 jutaan unit pertahun, mencatatkan pertumbuhan penjualan mobil listrik yang merangkak dari tahun ke tahun.

Di 2019, total penjualan mobil listrik mencapai 812 unit, terdiri dari HEV 787 unit dan PHEV 25 unit. Di 2020 mencapai 1.324 unit, terdiri dari BEV 125 unit, PHEV 8 unit, HEV 1.191 unit. Kemudian di 2021, penjualannya mencapai 3.205 unit, terdiri dari BEV 687 unit, PHEV 46 unit, HEV 2.472 unit. 

Tahun ini berdasarkan catatan Gaikindo, penjualan mobil listrik mencapai 6.667 unit per Agustus 2022, terdiri dari BEV 1.647 unit, PHEV 10 unit dan HEV 5.010 unit. Capaian ini baru sekitar 10,13% saja dari keseluruhan pangsa pasar 658.232 unit di periode tersebut. 

Kita juga harus lihat secara global karena ini ada kaitannya dengan GDP per capita. AS yang katanya teriak-teriak mobil listrik mana penjualannya? Jadi secara global masih berat karena harga masih mahal. Kami berterimakasih sudah begitu banyak insentif yang diberikan pemerintah itu betul, tapi memang perjalanan EV masih panjang," kata Kukuh kepada TrenAsia.com, Sabtu, 3 Desember 2022.

Faktor kedua adalah biaya-biaya yang timbul dan kepraktisan. Kebanyakan harga baterai mobil listrik terutama tipe hibrida masih sangat mahal. Dan kepraktisannya dalam hal jarak tempuh belum menyentuh skala keekonomian di Indonesia. 

Melonjaknya pembelian mobil listrik di pameran sebetulnya didorong oleh konsumen yang bukan fist time buyer. Mereka adalah konsumen yang sebelumnya sudah memiliki 2 atau tiga mobil, yang sekedar membeli sebagai hobi atau koleksi ataupun sebagai city car (jarak dekat). Pertanyaannya, berapa lama tren ini bisa bertahan?

Hal ini diamini oleh Rendy, salah satu konsumen Toyota Camry tipe Hibrida. Awal membeli baterai, harganya belum melonjak seperti saat ini di kisaran Rp70 jutaan. Harga baterai khususnya tipe hibrida dikatakan sering digoreng seiring waktu karena kelangkaan pasokan.

“Jangan senang dulu kalau sekarang baterai mobil listrik untuk mobil keluaran terbaru bisa dibilang murah, misalkan All New Toyota Kijang Innova Zenix Hybrid. Kan harganya katanya Rp30 juta itu murah dibanding saya punya Camry hybrid yang Rp70 juta. FYI ( for your information ) dulu awal saya beli baterai Camry itu juga gak segitu harganya (Rp70 juta). Awalnya masih murah tapi naik naik," kata Rendy. 

Faktor terakhir yang menyebabkan penjualan mobil listrik tidak melejit menurut Kukuh adalah karena masih adanya rantai pasok industri yang diindungi. Itu pula mengapa banyak negara maju seperti Jerman dan Singapura melakukan transisi ini pelan-pelan dan tidak sekaligus secara penuh, mengingat tujuan dekarbonisasi atau pengurangan emisi sejatinya bisa dilakukan tidak hanya lewat EV, namun juga biodiesel maupun etanol misalnya. 

“Contoh aja Singapura yang jumlah penduduknya cuma sekitar 4 juta. Apakah dia belum wajib EV? Artinya walaupun secara ekonomi dia mampu, negaranya kjuga ecil hanya di pakai di kota tapi buktinya penjualannya gak meledak lajunya. Jadi jangan terjebak info-info dari Eropa misalnya Norwegian EV laku keras ya terang saja dia penduduknya sedikit, negara kaya dan gak punya industri. Nah aspek industrinya juga ada tengok saja Jerman yang masih melindungi pelaku industri (ICE)," tambah Kukuh.

Satu-satunya negara dengan penerimaan pasar mobil listrik yang baik adalah Cina, dimana penjualannya sekitar 1 juta unit per tahun dengan pangsa pasar mencapai 35,7% dari total penjualan mobil di sana sekitar 28 juta per tahun. Pasar mobil listrik Cina bisa sedemikian maju lantaran pemerintah sudah bukan memberikan insentif lagi, melainkan subsidi sebesar US$15.000 setara Rp231,2 miliar per unit. Satu ha yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia.

Deretan Insentif

Saat ini sudah lebih dari enam insentif bisa dinikmati pembeli moil listrik. Mulai dari pajak pertambahan nilai barang mewah (PPnBM) 0%, bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) nol rupiah dan pajak kendaraan bermotor (PKB) 10%, nol rupiah down payment (DP) bagi kredit mobil listrik, 30% tarif listrik PLN untuk cas mobil listrik di rumah serta bebas ganjil genap. Belum lagi pemerintah tengah mengusulkan tambahan insentif lain untuk konversi dan pembelian motor listrik sekitar Rp6 jutaan.

Bagi jasa keuangan sendiri seperti bank, ada beragam insentif diberikan. Mulai darirRelaksasi perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) dari 75% menjadi 50% bagi produksi dan konsumsi kendaraan bermotor listrik berbahan baterai (KBLBB), relaksasi penilaian kualitas kredit hanya didasarkan atas ketepatan membayar pokok dan/atau bunga untuk pembelian KBLBB atau pengembangan industri hulu dari KBLBB dengan plafon sampai dengan Rp5 miliar.

Selain itu, penyediaan dana kepada debitur dengan tujuan pembelian KBLBB dan/atau pengembangan industri hulu KBLBB (industri baterai, industri charging station, dan industri komponen) dinilai sebagai pemenuhan ketentuan penerapan keuangan berkelanjutan sebagaimana POJK 51 /2017, pengecualian Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) untuk penyediaan dana dalam rangka produksi KBLBB beserta infrastrukturnya. 

Sementara bagi manufaktur, salah satu insentif yang sudah berjalan adalah bea masuk (BM) 0%. Di luar itu, produsen juga dapat memanfaatkan fasilitas seperti tax holiday atau mini tax holiday (UU 25/2007, PMK 130/2020, Per BKPM 7/2020), tax allowance (PP 18/2015 Jo PP 9/2016, Permenperin 1/2018), pembebaasan Bea Masuk (PMK 188/2015), Bea Masuk Ditanggung Pemerintah, serta super tax deduction untuk kegiatan R&D (PP 45/2019, dan PMK No.153/2020).

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Yosi Winosa pada 03 Dec 2022 

Editor: Isman Wahyudi
Bagikan
Isman Wahyudi

Isman Wahyudi

Lihat semua artikel

Related Stories