Bank Sulselbar dalam Pusaran Arogansi Kepemimpinan Nurdin Abdullah

Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah

Dewan Komisaris Bank Sulselbar akhirnya menjadi instrumen Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah untuk melengserkan Andi Muhammad Rahmat sebagai sebagai Direktur Utama Bank Sulselbar.

Merujuk pada Surat Keputusan (SK) Dewan Komisaris Bank Sulselbar No. SK/005/DK-BPDSS/X/2019 tentang pemberhentian Andi Muhammad Rahmat sebagai Direktur Utama, yang ditandatagani Ellong Tjandra selaku Komisaris Utama Independen .

Dalam SK tersebut, Dewan Komisaris dengan sejumlah pertimbangan yang cenderung sarat dengan sentimen negatif tanpa dilandasi alasan fundamental, memutuskan Andi Muhammad Rahmat mulai 4 Oktober 2019 tidak lagi diberikan wewenang melaksanakan kepengurusan di Bank Sulselbar.

Jika dirunut ke belakang, SK dari Dewan Komisaris ini menjadi klimaks dari langkah arogansi pemegang saham terutama Pemegang Saham Pengendali (PSP) yakni Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah untuk melengserkan Andi Muhammad Rahmat sebagai nakhoda BPD milik pemda seantero Sulsel dan Sulbar.

Sebelumnya, Nurdin Abdullah yang juga sang profesor ini memimpin upaya ‘pemakzulan’ Andi Muhammad Rahmat pada RUPS LB Bank Sulselbar pada 4 September 2019 lalu, namun kemudian hanya menghasilkan keputusan ‘akan memberhentikan’ sehingga kemudian menjadi polemik kontroversial.

Kala itu, sejumlah pemegang saham yang terdiri beberapa kepala daerah Sulsel dan Sulbar telah melayangkan protes lantaran usulan pemberhentian Direktur Utama tidak mempunyai  alasan kuat dan bank dinilai dalam kondisi dengan performa positif.

Alhasil, pada Akta Berita Acara RUPS LB PT Bank Sulselbar No.2 tanggal 4 September 2019 yang dibuat Andi Nur Aidar Anwar, hanya bertuliksan akan memberhentikan Andi Muhammad Rahmat sebagai Dirut, tanpa keputusan jelas yang sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan / GCG.

Kondisi itu kemudian membuat RUPS LB per 4 September 2019 menjadi RUPS Bank Sulselbar yang paling rancu dalam sejarah BPD ini berdiri dan baru terjadi saat PSP perseroan dipegang oleh Nurdin Abdullah, penyandang gelar tertinggi gelar dalam dunia akademik, PROFESOR.

Lantaran tidak memiliki landasan yang mengikat, Dewan Komisaris Bank Sulselbar melalui Ellong Tjandra melayangkan surat ke Andi Muhammad Rahmat untuk kembali menjalankan tugas mulai 10 September 2019, mengingat selepas RUPS tidak ada kepastian hukum terkait posisi direktur utama.

Pada akhirnya, Gubernur Sulsel melayangkan surat ke Dewan Komisaris Bank Sulselbar dengan No.575/7III/B.EKON  per tanggal 30 September 2019 yang berisikan instruksi agar ada langkah penting sebagai lanjutan dari hasil RUPS LB 4 September 2019.

Sehingga Dewan Komisaris lalu meresponnya dengan menerbitkan SK pemberhentian sementara Andi Muhammad Rahmat. Ellong Tjandra yang dihubungi sejumlah media bahkan belum memberikan pernyataan resmi, dan cenderung hanya menjadi alat perpanjangan arogansi sistematis dari PSP.

Pada kesempatan berbeda, Andi Muhammad Rahmat mengakui upaya pemberhentian dirinya telah terjadi sejak RUPS LB per September lalu namun terkendala pada proses administrasi dan adanya beberapa tahapan atau mekanisme dalam RUPS LB yang tidak terpenuhi. Misalnya, tidak diberikan ruang hak jawa atau pembelaan bagi Dirut.

"Tercatat sudah dua kali RUPS LB dilakukan untuk memberhentikan saya, namun belum tuntas karena adanya beberapa hambatan dan pelanggaran terhadap UU PT," jelas Rahmat, pria yang berdarah Bugis ini.

Sehingga kemduin, Gubernur Sulsel selaku pemegang pengendali mengintruksikan Dewan Komisaris untuk mengambil langkah pemberhentian pengurus perseroan dengan mengacu Pasal  106 UU Perseroan Terbatas.

Sebagai informasi, pasal tersebut mengatur pemberhentian bisa dilakukan apabila dengan menyebutkan alasan bahwa terdapat kegentingan atau permasalahan pelanggaran atau kerugian perseroan yang tidak dapat dihindari lagi, sehingga kepentingan perseroan mesti didahulukan. Sehingga DK bisa memberhentikan jajaran direksi.

Meski begitu, kata Rahmat, alasan pemberhentian sementara Andi Ramhat masih dinilai tak berdasar dan terkesan mengada-ngada. Misalnya saja dengan alasan NPL dan persentase pertumbuhan kredit produktif perseroan yang tidaj sesuai harapan pemegang saham pengendali.

"Termasuk adanya alasan tambahan yang tidak ditetapkan dalam keputusan RUPS LB tanggal 4 September 2019 lalu terkait 6 indikator alasan pemberhentian Dirut Bank Sulselbar," tutur dia.

Hal itu tentu bertolak belakang dengan kondisu bank yang menunjukkan tingkat kesehatan yang prima. Terbukti dari sejumlah  penghargaan yang diterima Bank Sulselbar atas peningkatan kinerja perseroan. Bahkan persentase NPL masih 1,2% jauh dibawah ambang batas ketentuan regulator yakni maksimal 5%.

Perseroan juga  juga telah membuat kebijakan berupa pengenaan suku bunga kredit produktif yang lebih murah dan kompetitif dibandingkan bank lain, termasuk persyaratan realisasi kredit produkti yang memudahkan debitur.  Rahmat menyatakan, hal itu dilakukan untuk meningkatkan porsi pencairan kredit produktif.

Disamping itu perseroan juga telah membiayai beberapa pembiayaan pemda/pemerintah kota dalam mendorong percepatan pembangunan dan infrastruktur masyarakat. Salah satunya, denhan melakukan kerja sama dengan kementrian dan pemda untuk peningkatan sektor UMKM di daerah.

"Terdapat pula 2 alasan yang tidak ditetapkan oleh pemegang saham dalam RUPS LB sebelumnya yaitu terkait penempatan Reksa Dana (Mtn) pada PT Sun Prima sebesar Rp10 miliar," tegasnya.

Rahmat menguraikan, kejadian itu sebenarnya tidak hanya dialami Bank Sulselbar, tetapi juga dialami beberapa bank besar Seperti bank swasta, bank pemerintah, dan beberapa BPD termasuk Dana Pensiun Lembaga Keuangan/Perbankan (DPLK) yang ada di Indonesia.

Dia tak menanpik permasalahan itu sementara dalam proses hukum (PKPU/Kepailitan) guna mengembalikan kerugian bank. Kejadian yang bermula pada tahun lalu 2018, telah diantisipasi oleh perseroan dengan melakukan pencadangan atas risiko kerugian.

"Bahkan pihak OJK tidak mempermasalahkan kejadian itu dalam hasil pemeriksaannya tahun lalu dan tahun ini.  Berarti menurut kami hal itu bukan merupakan suatu hal yang genting dan penting," terang Rahmat.

Di sisi lain, merujuk pada laporan keuangan Bank Sulselbar pada 2018 lalu yang telah diaudit KAP,  telah dilaporkan dalam RUPS Tahunan dan mendapatkan persetujuan dari para pemegang saham bahkan Dewan Komisaris. Olehnya itu, menjadi hal yang janggal jika hal tersebut justru baru dipermasalahkan.

Terkait alasan lain yang kedua yang menjadi tambahan adalah terkait kebijakan perhitungan CKPN yang terdapat perbedaan metode perhitungan yaitu Individual Imparment dan Kolektif Inparment.

"Menurut hemat kami kebijakan tersebut telah kami atur dalam keputusan Direksi dan telah kami rapatkan dalam Alco dan hal tersebut bukanlah suatu hal yang genting dan merugikan bank," tegas Rahmat.

Pada titik tersebut, Dewan Komisaris Bank Sulselbar seyogyanya menempatkan kewenangan yang diberikan pada porsinya tidak melampaui kewenangan RUPS (pemegang saham), sebab kebijakan yang diambil Dewan Komisaris tersebut dapat berdampak juga terhadap pelanggaran pidana dalam UU PT.

Keputusan itu bahkan bisa termasuk dalam kategori tindak pidana perbankan sebagaimana diatur dlm UU No.7 tahun 1992 sebagaimana perubahan UU No. 10 thn 1998, yang mana apabila keputusan kontroversi Dewan Komisaris tersebut tetap dilanjutkan, maka Rahmat berharap adanya hak jawab atau ruang yang diberikan untuk melakukan pembelaan dalam ruang sidang RUPS LB nantinya.

Hal iti diharapkan agar Rahmat dapat menjelaskan dan memberikan tanggapan atas alasan-alasan pemberhentian yang dituduhkan kepadanya sehingga ada perlakuan adil dan transparan bagi dirinya. Bukan tanpa dasar, sebab ruang hak jawab tersebut  juga tetap mengacu pada Pasal 106 UU PT.

Di mana, pemberhentian sementara tersebut mesti ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan RUPS paling lambat 30 hari setelah tanggal pemberhentian sementara tersebut dan Direksi mesti diberi ruang/kesempatan untuk membela diri dengan tujuan agar melahirkan suatu keputusan yang tetap apakah mencabut keputusan Dewan Komisaris tersebut ataukah menguatkan keputusan tersebut.

Apabila tidak dilakukan RUPS dalam 30 hari maka keputusan Dewan Komisaris dinyatakan batal. Rahmat menambahkan, Otoriyas Jasa Keuangan (OJK) selaku lembaga katalisator dan pengawas perbankan mesti turun tangan terkait adanya pelanggaran kebijakan tersebut guna mewujudkan tata kelola yang baik dan sehat (GCG) dalam tubuh organisasi PT Bank Sulselbar.

Menaggapi hal itu, Kepala OJK Regional VI Sulampua Zulmi menyatakan pihaknya belum belum menerima laporan terkait pemberhentian sementara Andi Rahmat. Terkait hal itu, pengawas perbankan OJK belum bisa berkomentar banyak.

"Karena kami belum mendapat laporan dari bank kami belum bisa berkomentar banyak," kata Zulmi.

Secara umum, fenomena ini seolah menambah deretan keputusan Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah dalam hal copot mencopot jabatan. Selama satu tahun masa jabatannya, Nurdin bahkan telah 'lepas-pasang' sejumlah kepala organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkup Pemprov Sulsel.

Bahkan kondisi paling parah, membuat Bank Sulselbar sebagai BPD kebanggan Sulsel dan Sulbar terjebak dalam pusaran arogansi Nurdin Abdullah yang hanya mengutamakan hasrat pemakzulan direktur utama.

Terkait pencopotan Andi Rahmat selaku Direktur Utama Bank Sulselbar, Nurdin sempat menampik bahwa hal itu merupakan keinginan. Ia menyatakan, keputusan itu merupakan suara bulat dari para pemegang saham lainnya.

"Gubernur tidak mencopot, tidak ada itu. Ini adalah keputusan pemegang saham pada RUPS LB kemarin. Kebetulan Pemprov Sulsel pemegang saham mayoritas," ungkap Nurdin, beberapa waktu lalu.

Nurdin mengemukakan, secara demokratis hampir 80% pemegang saham yang menyetujui pergantian di pucuk pimpinan bank mitra Pemprov Sulsel dan Sulbar itu. Salah satu alasan pemberhentiannya yakni tingkat kesehatan bank yang dinilai tidak wajar.

Bagikan

Related Stories