Ekonomi & Bisnis
4 Drama Sengketa Keluarga yang Guncang Bisnis Besar Indonesia
MAKASSARINSIGHT.com – Dunia bisnis Indonesia kerap diwarnai drama sengketa keluarga. Mulai dari perebutan warisan, perceraian, hingga konflik pengelolaan utang, sejumlah perusahaan besar pernah terguncang oleh masalah internal keluarga yang berujung ke meja hijau. Tak jarang, konflik ini menggerus warisan bisnis yang dibangun puluhan tahun.
Terbaru, publik kembali dikejutkan dengan perseteruan hukum antara dua nama besar dunia usaha: Jusuf Hamka, pengusaha jalan tol lewat PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP), dan Harry Tanoesoedibjo, pemilik konglomerasi media MNC Group.
Kasus yang akarnya berasal dari transaksi keuangan di era krisis moneter 1999 itu kini bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. PT MNC Asia Holding Tbk (BHIT), induk usaha milik Harry Tanoe, menjadi pihak tergugat. Perseteruan dua taipan ini menambah daftar panjang sengketa bisnis yang menjadi sorotan publik.
Baca Juga:
- Sabet 3 Penghargaan, BRI Group Jadi Sorotan di Euromoney Awards for Excellence 2025
- Talang Babungo Miliki Pusat Laboratorium Ekonomi Sirkular Lewat Rumah Pintar KBA Jorong Tabek
- Pemkot–PLN Sinergi Tata Jaringan Listrik, Munafri Dorong Kabel Bawah Tanah di Makassar
Berikut lima kasus paling mencuri perhatian:
1. Sinar Mas: Perebutan Warisan Rp600–700 Triliun
Freddy Widjaja, anak dari mendiang pendiri Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja, menggugat lima saudara tirinya terkait pembagian warisan keluarga. Gugatan ini mencuat sejak 2020 dan menyinggung aset keluarga yang ditaksir mencapai Rp600–672,6 triliun.
Perseteruan ini bukan hanya soal nilai fantastis warisan, tetapi juga memperlihatkan betapa rumitnya struktur keluarga besar konglomerasi Sinar Mas. Meski sejumlah gugatan sempat kandas di pengadilan, Freddy berkali-kali mencoba jalur hukum, termasuk hingga ke tingkat kasasi Mahkamah Agung.
2. Ayam Goreng Suharti: Kongsi Runtuh Akibat Perceraian
Bisnis kuliner legendaris Ayam Goreng Suharti berdiri sejak 1972 dan berkembang menjadi jaringan restoran terkenal. Namun, setelah pendirinya Bambang Sachlan Praptohardjo bercerai dengan istrinya, Suharti, usaha ini terbelah dua.
Perceraian yang disertai sengketa penggunaan nama merek membuat masing-masing pihak membuka restoran dengan nama yang mirip, seperti “Ayam Goreng Ny. Suharti” dan “Ayam Goreng Suharti”. Perpecahan ini membuat brand yang semula solid kehilangan identitas tunggal dan daya saing menurun.
3. Blue Bird: Kakak-Beradik Saling Gugat
Perusahaan taksi terbesar di Indonesia, Blue Bird Group, juga tak luput dari konflik internal. Pada 2004, terjadi perseteruan antara kakak-beradik dalam keluarga pendiri, yang berujung pada gugatan hukum.
Meski akhirnya konflik dapat diselesaikan dan Blue Bird tetap melanjutkan operasional hingga kini bahkan melantai di Bursa Efek Indonesia pada 2014, kasus ini menunjukkan rapuhnya fondasi bisnis keluarga ketika terjadi perselisihan kepemilikan.
4. Roti Tan Ek Tjoan: Sengketa Merek Turun-Temurun
Merek roti legendaris Tan Ek Tjoan, yang berdiri sejak 1921 di Cirebon, juga diguncang konflik keluarga. Pada 2022, Alexandra, cucu pendiri, menggugat Lydia Cynthia Elia terkait pengalihan merek dan penggunaan logo klasik Tan Ek Tjoan.
Namun, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan tersebut karena dinilai tidak memiliki dasar hukum kuat dan terlambat secara prosedural. Alexandra kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk melanjutkan perjuangannya mempertahankan merek keluarga.
Baca Juga:
- Hilangkan Bias Gender, OCBC Dorong Budaya Inklusif di Tempat Kerja
- Sulsel Tuan Rumah HUT Dekranas 2026, Makassar Jadi Kandidat Kuat Pusat Perayaan
- BRI Peduli Hadirkan Program Literasi Anak Negeri untuk Tingkatkan Kualitas Pendidikan
Kasus-kasus di atas menunjukkan satu benang merah: bisnis keluarga sangat rentan terhadap konflik internal. Entah karena warisan yang nilainya fantastis, perceraian yang memutus kongsi, atau sengketa merek yang berlarut-larut, semuanya berpotensi meruntuhkan reputasi dan kelangsungan usaha.
Indonesia sendiri tengah menghadapi tantangan regenerasi bisnis keluarga. Menurut PwC Indonesia Family Business Survey 2023, hanya sekitar 30% bisnis keluarga yang mampu bertahan hingga generasi ketiga. Angka ini sejalan dengan tren global yang menunjukkan bisnis keluarga kerap gagal diwariskan dengan mulus tanpa konflik.
Kisah-kisah ini menjadi pengingat bahwa membangun bisnis membutuhkan kerja keras puluhan tahun, tetapi mempertahankannya bisa runtuh hanya dalam hitungan hari ketika konflik keluarga meledak.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Debrinata Rizky pada 20 Aug 2025