Kamis, 24 Juli 2025 15:36 WIB
Penulis:Isman Wahyudi
Editor:Isman Wahyudi
MAKASSARINSIGHT.com - Australia kerap dikenal sebagai negara maju dengan ekonomi stabil dan kualitas hidup tinggi. Namun, di balik kemegahan kota-kota modernnya, tersimpan sejarah kelam yang masih menyisakan luka, hilangnya populasi penduduk asli Aborigin dan Kepulauan Selat Torres akibat kolonialisasi Inggris sejak 1788.
Orang Aborigin telah menghuni benua Australia selama lebih dari 60.000 tahun, dengan populasi sebelum kolonialisasi diperkirakan mencapai 750.000 hingga 1,25 juta jiwa. Namun, hanya dalam kurun satu abad sejak kedatangan Inggris, jumlah itu merosot tajam menjadi sekitar 60.000 jiwa saja.
Gelombang kolonialisasi tak hanya berarti masuknya peradaban baru, melainkan juga kekerasan yang sistematis. Di Negara Bagian Victoria, tercatat lebih dari 20.000 orang Aborigin tewas akibat bentrokan dengan penjajah.
Laporan Yoorrook Justice Commission (2025) bahkan menyebut tindakan itu sebagai genosida, dengan disertai pembunuhan massal, perampasan tanah, hingga penghancuran bahasa dan budaya.
Selain kekerasan fisik, wabah penyakit seperti cacar, influenza, dan campak yang dibawa penjajah menewaskan ribuan orang Aborigin yang tidak memiliki kekebalan alami. Perubahan ekosistem akibat perampasan tanah juga membuat mereka kehilangan sumber pangan tradisional.
Tidak berhenti di situ, kebijakan pemerintah kolonial kemudian memperdalam luka. Generasi demi generasi anak Aborigin dicabut dari keluarga mereka dalam program asimilasi yang dikenal sebagai Generasi yang Terampas. Banyak dari mereka dipaksa melupakan bahasa dan budaya leluhur.
Dampak Jangka Panjang
Memasuki awal abad ke-20, populasi Aborigin mencapai titik terendah, hanya sekitar 60.000 jiwa. Sementara itu, ratusan bahasa mereka punah. Dari lebih dari 600 bahasa yang pernah hidup, kini hanya segelintir yang masih bertahan.
Di era modern, populasi masyarakat Aborigin memang bangkit kembali hingga sekitar 1 juta jiwa, atau 3,8% dari total penduduk Australia. Namun, kesenjangan sosial dan ekonomi masih terasa.
Laporan Yoorrook Justice Commission mengungkap adanya rasisme sistemik di sektor kesehatan, yang membuat angka harapan hidup dan kondisi kesehatan orang Aborigin jauh tertinggal dari populasi umum.
Upaya pengakuan pun kerap menemui jalan buntu. Pada tahun 2023, referendum untuk mengakui Masyarakat Pertama Australia dalam konstitusi gagal, dengan hampir 60% pemilih menolak. Keputusan itu dipandang sebagai kemunduran besar dalam proses rekonsiliasi.
Meski perjalanan penuh luka, semangat masyarakat Aborigin untuk bangkit tidak pernah padam. Berbagai komisi kebenaran seperti Yoorrook Justice Commission dibentuk untuk mengungkap sejarah dan merekomendasikan permintaan maaf, reparasi, hingga reformasi kebijakan.
Namun, tantangan masih membayangi, sengketa tanah dengan perusahaan pertambangan dan peternakan terus terjadi, sementara representasi politik Aborigin di tingkat nasional masih minim. Penolakan terhadap “Voice to Parliament” pada referendum 2023 menjadi bukti bahwa jalan menuju pengakuan dan keadilan masih panjang.
Di tengah trauma kolektif, budaya Aborigin justru menunjukkan ketahanan luar biasa. Seni, musik, cerita rakyat, hingga praktik spiritual mereka masih bisa ditemui di berbagai wilayah Australia. Beberapa komunitas juga giat menghidupkan kembali bahasa-bahasa yang hampir punah.
Hubungan historis dengan Indonesia juga menjadi catatan penting. Penelitian pada 2023 menemukan bahwa pelaut Makassar telah menjalin interaksi dengan masyarakat Aborigin di Australia Utara sejak abad ke-18, bahkan ada yang menetap dan berkeluarga. Jejak ini memperkuat identitas budaya Aborigin sebagai bagian dari jaringan interaksi Asia-Pasifik.
Hari ini, masyarakat Aborigin bukanlah kelompok yang punah, tetapi kelompok yang bertahan dengan luka sejarah mendalam. Dari hampir satu juta jiwa sebelum kolonialisasi, kini mereka kembali mencapai jumlah itu, meski hanya sebagian kecil dari populasi Australia. (***)