Minggu, 21 September 2025 18:17 WIB
Penulis:El Putra
Editor:El Putra
MAKASSARINSIGHT.com — Sore itu, matahari mulai condong ke barat. Di atas rumput lapangan Stadion Daeng Ri Lakkang, suara tawa anak-anak bersahut-sahutan dengan sorakan penonton yang memadati tribun sederhana.
Di tengah gemuruh suara, seorang pria bertubuh langsing berdiri tenang di pinggir lapangan. Dialah Rudianto Lallo, anggota DPR RI Komisi III, yang sore itu memilih mengisi waktunya bukan di ruang rapat atau kantor mewah, melainkan di tengah-tengah masyarakat, menyaksikan final Liga Anak Rakyat 2025.
Liga ini bukan sekadar turnamen sepak bola. Ia adalah denyut kecil dari sebuah cita-cita besar—mewujudkan ruang tumbuh dan ekspresi bagi anak-anak dari kalangan akar rumput.
Turnamen ini telah berlangsung lima tahun berturut-turut, dan selalu menjadi panggung bagi bakat-bakat muda di kota Makassar dan sekitarnya. Dan di baliknya, selalu ada nama Rudianto Lallo.
Final sore itu mempertemukan dua tim yang sama-sama haus akan kemenangan: Rapa-Rapayya dan Juku Aja. Nama-nama tim yang khas dan mencerminkan identitas lokal, membawa suasana pertandingan menjadi lebih dari sekadar duel di atas lapangan.
Baca Juga:
Ini adalah pertarungan harga diri, semangat, dan kebanggaan kampung halaman.
Duel berlangsung ketat. Saling serang, saling bertahan. Setiap dribel disambut sorak, setiap tendangan mengundang decak kagum. Namun hingga peluit panjang berbunyi, skor tetap imbang. Adu penalti pun menjadi penentu.
Detik-detik adu penalti terasa menegangkan. Beberapa anak menutup mata. Para ibu menggenggam tangan satu sama lain. Dan ketika Juku Aja memastikan kemenangan lewat skor akhir 4-3, lapangan pun seketika pecah oleh euforia.
Namun yang paling menyentuh bukan hanya kemenangan itu. Setelah peluit terakhir, anak-anak dari kedua tim saling berpelukan. Tak ada tangis berlebihan, tak ada amarah. Hanya senyum dan peluh yang tersisa. Sepak bola telah menjadi jembatan—antara bakat dan masa depan, antara kampung dan harapan.
Rudianto Lallo: Di Antara Anak-Anak dan Aspirasi
Rudianto Lallo tak hanya datang sebagai penonton. Ia hadir sebagai sosok yang akrab dipanggil “Anak Rakyat”—sebuah julukan yang bukan sekadar slogan kampanye, melainkan refleksi dari konsistensinya membangun relasi dengan masyarakat paling bawah.
Di sela pertandingan, Rudianto tampak akrab menyapa warga Pulau Lakkang. Ia duduk di bawah tenda sederhana, berbincang santai dengan tokoh masyarakat, mendengar keluhan para ibu, dan menepuk bahu para pemuda yang ikut menyelenggarakan acara. Tak ada jarak. Tak ada protokol kaku. Hanya silaturahmi yang tulus.
“Bagi saya, hadir di tempat seperti ini justru menguatkan semangat untuk terus memperjuangkan hal-hal yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat,” ujarnya singkat, sambil sesekali menyapa warga dan anak-anak yang minta berswafoto.
Lapangan Daeng Ri Lakkang, tempat berlangsungnya laga final, tak hadir begitu saja. Ia adalah buah dari perjuangan panjang. Beberapa tahun lalu, lapangan ini hanyalah tanah kosong yang terabaikan. Namun lewat inisiatif Rudianto dan kerja sama warga setempat, stadion kecil ini kini menjadi pusat aktivitas anak-anak dan pemuda di Pulau Lakkang.
Bagi Rudianto, membangun stadion bukan hanya soal infrastruktur. Lebih dari itu, ini adalah bentuk investasi jangka panjang untuk masa depan generasi muda. “Di sinilah mereka belajar disiplin, kerja sama, dan kepercayaan diri. Sepak bola itu bukan sekadar olahraga, tapi alat pendidikan sosial,” tuturnya suatu waktu dalam wawancara sebelumnya.
Liga Anak Rakyat: Bukan Sekadar Turnamen
Sejak pertama digelar, Liga Anak Rakyat tak pernah kehilangan daya magisnya. Bukan hanya karena kualitas permainannya, tetapi karena semangat yang melandasinya: memberikan ruang bagi anak-anak dari berbagai latar belakang untuk tampil dan dihargai.
Setiap tahunnya, enam tim turut ambil bagian. Dari lapangan tanah hingga stadion sederhana, Liga Anak Rakyat menjadi panggung bagi mimpi-mimpi kecil yang suatu hari bisa tumbuh besar.
Baca Juga:
Dan Rudianto Lallo, dalam kesibukan politiknya, selalu menyempatkan diri hadir di tengah-tengah mereka. Karena di sanalah ia merasa paling dekat dengan jati dirinya: seorang anak rakyat yang tak pernah lupa dari mana ia berasal.
Sore berubah senja. Langit Lakkang memerah, dan anak-anak masih bermain bola, kali ini tanpa skor, tanpa wasit. Hanya mereka, bola, dan tawa yang membebaskan.
Di kejauhan, Rudianto bersiap meninggalkan lapangan. Tapi sebelum pergi, ia berbalik, menatap sebentar ke arah stadion. Mungkin dalam hatinya, ia tahu: selama anak-anak masih bermain di lapangan ini, selama tawa mereka masih menggema di sore hari, perjuangannya belum selesai.
Dan Liga Anak Rakyat bukan hanya soal sepak bola—ia adalah tentang menjaga harapan tetap hidup, di kaki-kaki kecil yang terus berlari mengejar mimpi. (*)