Kala Wakil Rakyat Mabuk Kekuasaan, Jangkauan Peraturan DPR Diperluas

Jumat, 07 Februari 2025 07:33 WIB

Penulis:Isman Wahyudi

Editor:Isman Wahyudi

Screenshot (1509).png
Penyerahan laporan oleh Wakil Ketua Komisi I kepada Ketua DPR Puan Maharani, Selasa 21 November 2023 (Foto: Tangkapan Layar Youtube DPR RI)

Mabuk kekuasaan. Boleh jadi itulah yang tengah melanda para “wakil rakyat” saat ini. Bagaimana tidak? Baru empat bulan dilantik, Selasa, 4 Februari 2024, DPR periode 2024-2029 telah membuat peraturan anyar yang membuat kekuasaannya berlipat ganda.  Sumber kekuasaan baru ini tak lain revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Melalui peraturan ini anggota legislatif memiliki wewenang untuk mengevaluasi secara berkala para pejabat negara yang sebelumnya telah  melewati proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR. 

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan mengatakan, revisi ini memberi DPR ruang untuk meninjau kembali kinerja pejabat yang telah mereka tetapkan dalam rapat paripurna. Jika dalam evaluasi ditemukan kinerja yang tidak memenuhi harapan, DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian. 

Pejabat yang dapat dievaluasi kinerjanya secara berkala, antara lain adalah Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA), Kapolri hingga Panglima TNI.  

Baca Juga: 

Kontan beleid baru ini bikin geger. Sebab, peraturan baru ini menunjukkan betapa rendahnya pengetahuan para anggota dewan tentang hierarki ketatanegaraan. Apakah mereka tidak paham adanya teori pemisahan kekuasaan Trias Politica yang dicanangkan oleh Mentesquieu beberapa abad lampau? Singkat kata, yang namanya t5ata tertib jelas hanya berlaku untuk internal DPR, bukan mengikat keluar institusi pemilik tata tertib.   

Ide “gila” ini bisa jadi terinspirasi dari keberhasilan DPR periode 2019-2024 yang sukses mencopot Hakim MK Aswanto pada September 2022. Penghentian Aswanto ini berdasarkan rapat paripurna DPR RI yang menindaklanjuti keputusan hasil rapat Komisi III DPR RI. Kala itu, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menanyakan kepada peserta rapat tentang persetujuan untuk tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto. Hal ini pun kemudian diamini oleh mayoritas fraksi.

Ketua Komisi III DPR RI saat itu, Bambang Wuryanto menyatakan penggantian Aswanto ini dikarenakan kinerjanya yang mengecewakan. Aswanto sebagai Hakim Konstitusi usulan DPR RI dinilai kerap menganulir undang-undang produk DPR RI di MK. Yang paling kentara, terlihat pada dianulirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aswanto bersama dengan empat hakim konstitusi lainnya menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.

Terhadap pencopotan Aswanto, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai DPR RI telah mengangkangi hukum, melecehkan independensi, kemandirian, kebebasan kekuasaan Kehakiman serta bertindak melampaui kewenangannya.

LBH juga menyatakan tindakan ini mengacaukan prinsip ketatanegaraan dan merusak independensi, kemandirian, kebebasan dan kekuasaan hakim sebagai prinsip universal maupun kelembagaan MK. 

Atas dasar itu LBH mendesak agar Aswanto dikembalikan ke posisinya dan DPR harus meminta maaf kepada publik, menghentikan  intervensi dan menjamin independensi MK. 

Toh desakan itu bak menepuk air di dulang. Presiden dan DPR mengabaikan seruan itu. 

Sikap Kepala Batu DPR Direspons dengan Peringatan Darurat

Sejak itu rasa percaya diri DPR semakin tebal. Paling tidak ini tampak nyata di perkara pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). 

Di perkara itu MK menolak permohonan yang diajukan pihak calon Gubernur Jawa Tengah Kaesang Pangarep yang notabene anak bungsu Presiden (kala itu) Joko Widodo. MK menegaskan semua persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 UU Pilkada harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon kepala daerah.

Sebelum adanya putusan MK itu, MA sudah mengeluarkan Putusan MA Nomor 23P/HUM/2024 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota alias UU Pilkada. Putusan MA yang disahkan pada 29 Mei 2024 itu mengatur batas minimum usia calon gubernur dan wakil gubernur berumur 30 tahun saat dilantik sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih pada 7 Februari 2025.

Sebagaimana diketahui umur Kaesang saat pendaftaran calon kepala daerah baru 29 tahun. UU Pilkada menetapkan calon kepala daerah harus berusia 30 tahun saat pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum. 

Rupanya, Badan Legislasi DPR justru mengabaikan putusan MK dan menggunakan putusan MA tersebut untuk mengatur batas minimum usia calon gubernur dan wakil gubernur dalam revisi UU No 10 Tahun 2016. Rencananya pengambilan keputusan atas perubahan UU Pilkada akan dilaksanakan pada Kamis, 22 Agustus 2024, hanya berselang dua hari setelah putusan MK. 

Sikap kepala batu DPR ini direspon oleh publik dengan mengapungkan “Peringatan Darurat” di media sosial. Berlogo Garuda Pancasila dan berkatar belakang warna biru, peringatan ini disambut gegap gempita oleh mahasiswa di seantero tanah air. Tepat pada hari DPR akan bersidang mereka melakukan aksi demo. Di Jakarta aksi protes berpusat di luar Gedung DPR. 

Singkat cerita, jerih payah mahasiswa berhasil menggagalkan upaya DPR untuk merevisi ketentuan mengenai batas usia calon gubernur dan wakil gubernur. 

Tingkat Kepercayaan terhadap DPR di Bawah TNI, Polri, Kejaksaan 

Begitulah, sesungguhnya tidak ada alasan bagi DPR untuk bertindak keluar jalur. Dari segi tingkat kepercayaan publik, berdasarkan survei Litbang kompas Juni 2024, DPR hanya menduduki posisi kelima dengan angka 62,6 persen. Peringkat pertama ditempati TNI dengan 89,8 persen, diikuti Polri 73,1 persen, Kejaksaan 68,1 persen. Di bawah DPR ada MK 61,4 persen dan KPK 56,1 persen.   

Baca Juga: 

Sudah begitu perilaku anggota dewan juga tak pantas dibanggakan. Sepanjang 2014-2024 tercatat  26 anggota DPR yang dipenjara lantaran korupsi. Yang paling terkenal tentu saja Ketua DPR Setya Novanto periode 2014-2019 yang terjerat kasus e-KTP senilai Rp2,3 triliun. 

Menurut catatan KPK, sejak 2004 hingga Juli 2023, sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD. Jumlah tersebut  terbanyak ketiga di bawah kasus korupsi yang menjerat kalangan swasta dengan 399 kasus dan pejabat eselon I-IV sebanyak 349 kasus. 

Betul, tren korupsi di kalangan anggota DPR mencatat penurunan di periode 2019-2024, hanya tiga kasus. Tapi jangan salah, minimnya angka koruptor di legislatif lebih disebabkan adanya upaya pelemahan terhadap KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. 

Sebagaimana diketahui, tak lama setelah dilantik DPR periode 2019-2024 bertindak cepat mengubah UU KPK. Lembaga rasuah sejak itu lumpuh, semua senjata andalannnya menguber koruptor dilucuti. 

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Andi Reza Rohadian pada 07 Feb 2025