Senin, 26 Februari 2024 12:00 WIB
Penulis:Isman Wahyudi
Editor:Isman Wahyudi
MAKASSARINSIGHT.com, JAKARTA - Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut 3, mendorong partai politik pendukungnya, seperti PDIP dan PPP di parlemen, untuk mengusulkan hak angket dalam menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Usulan tersebut muncul seiring dengan berbagai tuduhan kecurangan Pemilu 2024. Namun, usulan Ganjar tidak mendapat dukungan dari partai politik yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Inisiatif untuk membawa dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 ke ranah hak angket pertama kali diajukan oleh Ganjar Pranowo. Menurutnya, hak angket dianggap sebagai solusi terbaik untuk mengatasi situasi pemilu yang seperti ini.
Baca Juga:
“Kalau saya sebenarnya simpel aja, angket itu adalah cara terbaik dengan kondisi pemilu seperti ini,” tutur Ganjar, usai pertemuan dengan Tim Koordinator Relawan Pemenangan Presiden (TKRPP), di Jakarta, pada Jumat, 23 Februari 2024.
Sebagai lembaga legislatif, DPR telah menggunakan hak angket sebagai alat untuk menyelidiki berbagai kasus dan kebijakan yang dianggap krusial bagi negara.
Sejumlah kepala negara di Indonesia telah menjadi objek hak angket yang diajukan oleh DPR. Mulai dari zaman Soekarno hingga masa kini, ada enam presiden yang telah menjadi subjek hak angket oleh DPR.
Pada tahun 1950-an, DPR menggunakan Hak Angket pertama kalinya untuk menyelidiki untung-rugi dalam penggunaan devisa oleh pemerintah, sejalan dengan Undang-Undang Pengawasan Devisen tahun 1940.
Usulan ini diajukan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Agung, R. Margono Djojohadikusumo, beserta 12 anggota DPR lainnya. Meski demikian, usulan tersebut tidak terlaksana hingga pembentukan kabinet pasca-Pemilu 1955.
Pada tahun 1980-an, DPR menggunakan hak angket untuk kedua kalinya. Hal ini dilakukan karena ketidakpuasan DPR terhadap jawaban Presiden Soeharto terkait kasus yang melibatkan H. Thahir dan Pertamina. Meskipun Menteri Sekretaris Negara Sudharmono memberikan klarifikasi dalam Sidang Pleno DPR pada 21 Juli 1980, usulan hak angket tersebut akhirnya ditolak oleh sidang pleno DPR.
Pada masa pemerintahan Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), DPR kembali menggunakan hak angket. Kasus yang diselidiki termasuk Buloggate dan Bruneigate, terkait dengan skandal di Bulog dan sumbangan dari Sultan Brunei Darussalam.
Penggunaan hak angket ini sebagai tanggapan terhadap memorandum pembubaran parlemen yang dikeluarkan oleh Gus Dur. Meski demikian, langkah ini dianggap sebagai upaya oposisi untuk menjatuhkan Gus Dur, yang akhirnya mengundurkan diri pada 23 Juli 2001.
Pada masa pemerintahan Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri, muncul dugaan penyelewengan dana nonbujeter Bulog yang diduga merugikan negara sebesar Rp40 miliar. DPR kemudian mengusulkan hak angket untuk menginvestigasi kasus tersebut.
Meskipun pengadilan memberikan vonis terhadap pejabat yang terlibat, penerapan hak angket oleh DPR menyebabkan keputusan pengadilan tersebut menjadi tidak berarti.
Selama kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki beberapa kasus yang dianggap penting. Salah satunya penjualan dua kapal tanker VLCC oleh Pertamina pada tahun 2004.
Tindakan ini diambil setelah Komite Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menemukan kesalahan dalam proses penjualan tersebut. DPR membentuk panitia khusus pada 7 Juni 2005 setelah persetujuan hak angket.
Selain itu, DPR juga menggunakan hak angket terkait kasus impor beras pada tahun 2006. Meskipun Presiden SBY telah memanggil 11 menteri terkait pada 17 Januari 2006, sidang paripurna DPR menolak hak angket dan hak interpelasi terkait impor beras.
Salah satu kasus lain yang menjadi fokus DPR pada saat itu adalah penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 2008. Meskipun usulan hak angket muncul setelah penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan, DPR gagal menyetujuinya.
Pada Pemilu 2009, DPR juga mengusulkan hak angket terkait penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menjadi polemik. Anggota Fraksi PDI Perjuangan, Gayus Lumbuun, dipilih sebagai ketua pansus angket untuk menyelidiki permasalahan tersebut.
Di tengah serangkaian kasus tersebut, kasus Bank Century pada 2009 juga menjadi perhatian yang mendesak. DPR merasa perlu menggunakan hak angketnya untuk menangani masalah yang dianggap merugikan negara dan masyarakat.
Baca Juga:
Pada 28 April 2017, DPR menyetujui penggunaan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keputusan ini diambil ketika Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah secara tiba-tiba memukul palu persetujuan, meski terjadi interupsi selama anggota DPR sedang mendengarkan sikap fraksi.
Insiden tersebut menyebabkan beberapa anggota DPR meninggalkan ruangan. Fraksi Gerindra, Partai Demokrat, dan PKB akhirnya menolak usulan hak angket tersebut.
Permintaan hak angket ini muncul setelah KPK menolak memberikan rekaman Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Miryam Haryani terkait kasus e-KTP. BAP tersebut memuat sejumlah nama anggota dan mantan anggota DPR yang terkemuka. Keputusan ini memicu kontroversi di DPR dan mengakibatkan persetujuan penggunaan hak angket sebagai tanggapan terhadap penolakan KPK.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 26 Feb 2024