Hadapi Dua Putusan Berbeda dan Berkekuatan Hukum di Pilkada, Bagaimana Penyelenggara Harus Bersikap?

Senin, 31 Agustus 2020 20:23 WIB

Penulis:Isman Wahyudi

Editor:Isman Wahyudi

FB_IMG_575080465060879908.jpg
Amin Nuryakin. (IST)

PILKADA Makassar akan digelar pada 9 Desember 2020 mendatang. Pilkada ini unik, karena penyelenggaraannya merupakan ulangan dari Pilkada 2018.

Pilkada Makassar 2018 harus diulang karena pada gelaran kala itu, pasangan tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi harus menerima kemauan masyarakat Makassar yang dominan memilih kotak kosong.  

Diketahui, awal munculnya kotak kosong di Makassar setelah Mahkamah Agung (MA) mencoret pasangan Mohammad Ramdhan Pomanto dan Indira Mulyasari sebagai calon wali kota dan wakil wali kota.

MA dalam putusannya beranggapan bahwa Moh Ramdhan "Danny" Pomanto selaku petahana dianggap menggunakan jabatannya untuk melakukan kampanye terselubung dalam program pemerintahannya. Hal ini dianggap oleh majelis hakim dengan ketuanya Agung Supandi dan hakim anggota Yudo Martono Wahyunadi dan Is Sudaryono, merugikan pasangan lainnya.

Karena pertimbangan tersebut, MA lalu mencoret Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kta dan Wakil Wali Kota. Maka tinggallah pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) yang melaju sendiri di Pilkada Makassar.

Lalu bagaimana kelanjutannya? Pasca Pilkada Makassar yang hanya mempertandingkan pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi melawan kotak kosong, polarisasi antara kubu pendukung calon wali kota Munafri Arifuddin dan Danny Pomanto mulai terbentuk.

Perdebatan antara kedua kubu pendukung terjadi hampir di semua lini, utamanya jelang Pilkada Makassar tahun ini. Saling sindir terjadi di media sosial bahkan dimuat pula di media mainstream. Menjadikan iklim Makassar yang cenderung panas makin tidak terasa adem.

Kendati sejumlah nama turut mencuat sebagai bakal calon wali kota Makassar, sebut saja mantan wakil wali kota Syamsu Rizal atau mantan Kepala Dinas Pendidikan Sulsel yang juga adik Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo, Irman Yasin Limpo, tapi tensi panas hanya terjadi antara pendukung Munafri Arifuddin yang biasa disapa Appi dan relawan Danny Pomanto.

Berkaca pada kondisi Pilkada 2018 di mana Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar diperhadapkan pada adanya keputusan MA untuk mendiskualifikasi pasangan Danny Pomanto-Indira Mulyasari tapi juga harus menerima adanya putusan dari Panwaslu Kota Makassar yang memerintahkan KPU sebagai penyelenggara untuk memulihkan status pencalonan Danny Pomanto-Indira Mulyasari.

Polemik terkait pilihan pelaksanaan dari dua putusan tersebut pastinya akan muncul  pro dan kontra. Tapi sebagai penyelenggara KPU hanya perlu memberikan argumen tepat dengan bersandar pada aturan main yang berlaku.

Jadi, bagaimana KPU khususnya di tingkat kabupaten/kota sebagai penyelenggara harus bersikap kala hal itu terjadi lagi di kemudian hari? Jawabnya kembali pada tugas pokok KPU, yakni melaksanakan semua tahapan sesuai dengan ketentuan paraturan perundang-undangan.

Diketahui, dalam Pasal 18 Undang Undangn Nomor 17 Tahun 2017 dengan tegas disebutkan dalam salah satu poin tugas dan wewenangnya KPU tingkat kabupaten/kota adalah menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Bawaslu kabupaten/kota. 

Akan tetapi, putusan Bawaslu dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh pihak terkait. Sehingga sifat putusan atau rekomendasi Bawaslu kendati memiliki kekuatan hukum belum secara otomatis final dan mengikat. 

Sehingga, putusan pengadilan terkait dengan kondisi proses pelaksanaan Pilkada hingga ke tingkat Mahkamah Agung memungkinkan adanya pembatalan putusan dari Bawaslu. Mana yang harus dijalankan, sifat putusan yang telah berkekuatan hukum final dan mengikat.

Kendati demikian, paling utama dalam setiap pelaksanaan Pilkada atau Pemilu, independensi penyelenggara harus terjaga. Netralitas penyelenggara adalah kunci menjaga kondisi daerah tetap damai di tengah polarisasi pendukung yang bisa meruncing menjadi pertikaian fisik. (Penulis: Amin Nuryakin)