Sabtu, 06 September 2025 12:46 WIB
Penulis:Isman Wahyudi
Editor:Isman Wahyudi
MAKASSARINSIGHT.com - Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) yang diluncurkan Presiden Xi Jinping pada tahun 2013 menjadi salah satu proyek geopolitik dan ekonomi terbesar abad ini. Proyek ini bertujuan membangun jaringan infrastruktur darat dan laut untuk menghubungkan China dengan Asia, Eropa, Afrika, hingga Amerika Latin. BRI yang awalnya dikenal sebagai One Belt, One Road (OBOR), kini telah melibatkan 150 negara hingga Mei 2025, meskipun ada juga yang memilih keluar seperti Italia pada 2023 dan Panama pada 2025.
Salah satu kelebihan utama BRI adalah kemampuannya mendorong pembangunan infrastruktur global. Negara-negara peserta memperoleh fasilitas transportasi baru, mulai dari pelabuhan, jalur kereta, jalan tol, hingga jaringan energi yang memperkuat konektivitas lintas negara.
Selain itu, inisiatif ini turut mendorong pertumbuhan perdagangan internasional. Data menunjukkan perdagangan antara China dan negara mitra BRI tumbuh rata-rata 6,4 persen per tahun sejak 2013, dengan nilai total mencapai US$ 19,1 triliun.
Baca Juga:
Investasi yang masuk melalui BRI juga menghadirkan peluang transfer teknologi di berbagai sektor, khususnya transportasi, energi, dan digital. Dari sisi regional, proyek ini membantu mempercepat integrasi ekonomi kawasan karena akses menuju pasar global menjadi lebih mudah. Tidak hanya itu, BRI juga berkontribusi dalam diversifikasi jalur energi yang lebih luas, baik untuk China maupun negara peserta, melalui pembangunan rute darat dan laut.
Di balik manfaat yang ditawarkan, BRI tidak lepas dari berbagai tantangan dan kritik. Salah satu masalah terbesar adalah risiko utang yang menjerat negara peserta. Beberapa di antaranya seperti Sri Lanka, Zambia, dan Laos menghadapi beban keuangan yang berat akibat pembiayaan proyek BRI, sehingga memunculkan tuduhan praktik “debt-trap diplomacy”.
Selain itu, transparansi juga menjadi sorotan. Banyak proyek BRI dinilai tidak jelas dalam proses tender maupun kontrak, sehingga menimbulkan persoalan akuntabilitas publik. Dari sisi geopolitik, BRI kerap dipandang sebagai instrumen perluasan pengaruh China.
India misalnya menolak bergabung karena Koridor Ekonomi China–Pakistan (CPEC) melewati wilayah Kashmir yang disengketakan, sementara Amerika Serikat dan Uni Eropa mengkritik BRI sebagai strategi geopolitik yang agresif.
Aspek lingkungan dan sosial juga menjadi isu penting. Proyek infrastruktur kerap dituding mengabaikan standar lingkungan, memicu deforestasi, polusi, hingga konflik dengan masyarakat lokal. Di sisi lain, ketergantungan ekonomi pada China menjadi risiko tersendiri karena negara peserta bisa kehilangan ruang kemandirian dalam menentukan arah pembangunan. Stabilitas politik lokal pun seringkali terganggu akibat protes publik terhadap proyek yang dinilai merugikan masyarakat.
Baca Juga:
Selain itu, faktor keamanan juga tidak bisa diabaikan. Jalur darat dan laut BRI melewati kawasan rawan konflik, mulai dari Timur Tengah hingga Laut China Selatan, sehingga menimbulkan ancaman terhadap keberlanjutan proyek dan stabilitas kawasan.
Inisiatif Sabuk dan Jalan merupakan strategi ambisius China untuk memperkuat jaringan infrastruktur global sekaligus memperluas pengaruh ekonominya. Bagi negara peserta, BRI memberikan peluang besar dalam bentuk pembangunan, investasi, serta integrasi pasar internasional. Namun, risiko serius tetap membayangi, mulai dari jeratan utang, masalah transparansi, dampak sosial-lingkungan, hingga rivalitas geopolitik.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 06 Sep 2025